Hanya menunggu, entah tibanya ujung waktu. Bahkan debudebu
luruh dan mengendap dicekam beku. Menjadi lumut yang selimut
dinding batu. Tak sepatah, lirih pun tiada terdengar
Bahkan selarik bisik, tuk sekedar
jawab akan bilurbilur harap. Penanda titik
alunan bimbang yang terus mengusik
.
Belulang mengaduh, daging merapuh. Ku simpuh di depan
Sayup temaram. Wajah di dalam.
Entahkan tanya, serak tertelan. Adakah senyum merengkuh
sambutan riang, sebab aku terindukan? Ataukah rona muram
tusuk menghujam, balasan dendam, akan lambung teduh
yang dulu kejam kutikam?
.
Andai saja ternyatakan. Dan pintu tertutup tiada harapan
Tak separuh apalagi penuh. Mengusirku pergi menjauh, terantuk
karang. Terbakar panas jalanan, membayar segala kutuk
Hukuman itu kan kunikmatkan
.
Kini, lunglai buku ini mengetuk. Walau tak terdengar, karena jemari kian getar
Di hadapan pintu, terkuak separuh. Kelopak nanar, aku rebah, lelah terkapar
Tersendat nafasnafas hina, menghiba. Aku hilang, selalu ingin pulang
.
.
C.S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H