Pernah bermain “suit”? Itu lho, cara menentukan giliran, siapa yang menang atau memilih di antara dua orang untuk mendapatkan sesuatu. “Pingsut”, lah! Untuk kebanyakan istilah jawa menyebutnya. Mirip-mirip caranya dengan “hompipah” kalau pesertanya lebih dari dua orang.
Metode,..haiyah!,..metode..lagi. Apa ya? Teknik, ya , teknik melaksanakan pingsut yang dulu sering kita kenal adalah ketika jari telunjuk bertemu ibu jari, maka ibu jari lah yang menang. Karena ibu jari (jempol) melambangkan gajah, jari telunjuk melambangkan manusia. Gajah bertemu manusia dianggap menang gajah. Terus kalau jari telunjuk bertemu kelingking, pemenangnya adalah jari telunjuk. Kelingking melambangkan semut. Semut melawan manusia ya kalah, dong. Tinggal di pites pendeng! Lalu, jempol kalahnya sama siapa? Dikalahkan kelingking. Kok bisa? Semut ketemu gajah. Gajah kalah karena si semut masuk ke telinganya, si gajah puyeng dan KO. Hahaha..bisa saja!
Secara falsafah (ck..ck..ck.., falsafah, nih..), saya kurang setuju dengan pingsut cara ini. Masa iya gajah kalah lawan semut? Dan kalau benar gajah juga menang melawan manusia, tak mungkin populasinya makin menipis. Sampai-sampai di negeri kita dibuatkan tempat khusus perlindungannya di Way Kambas. So, jari telunjuk lah yang seharusnya selalu menang.
Bagaimana kalau teknik pingsut model “Play Rock, Scissor, and Paper”? Sepertinya, ini “impor” ya? Tak masalah. Yang jelas, saya lebih setuju dengan falsafahnya. Rock, scissor, dan paper. Batu, gunting, dan kertas. Gunting diwakili telunjuk dan jari tengah, batu diwakili tangan yang mengepal dan kertas diwakili tangan tengadah. Gunting menang melawan kertas, tinggal potong, ..kres..kress. Batu menang melawan gunting. Patah/rusak dong guntingnya kalau memotong batu. Batu kalahnya sama kertas. Kan tinggal dibungkus, klelep. Boleh..boleh. Mainkan!
Mirip-mirip kita juga kan ya? Saat kita berperilaku seperti gunting, akan dengan mudahnya mencabik-cabik “lawan” yang menggunakan perilaku kertas. Tapi, setajam apapun guntingan kita, kalau memaksakan diri memotong batu, ya linu-linu. Untuk menaklukkan perilaku batu, bungkus saja dengan cara kertas.
Tapi, kan masih ada simbol-simbol lain? Seperti karet, air dan lain-lain? Lha, iya, tapi kalau dipakai juga,..kapan mau pingsutnya?! Hahaha!
Cara pingsut ini juga sering saya pergunakan untuk sedikit “mempersulit” anak saya saat meminta untuk dibelikan mainan.
“Kalau tiga kali menang suit, ayah belikan, kalau kalah ya besok-besok lagi, Le..”
“ Ayoook...!!”
Seringnya, sih. Dia menang. Heran. Tiap saya pake gunting, dia batu. Saya kertas dia gunting. Terpaksa suit yang ketiga, saya tiup saja.
“ Lho, kok malah nyembur, Yah?”
“ Hehehe,..gunting, batu, kertas, kalah sama air, Leee....”
“ Apaan,..ah! Curang...!!”
Salam pingsut.
.
.
C.S.
Batu ketemu batu...
Pating klothak!