Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan di Persimpangan

10 Desember 2012   11:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:53 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap kali tiba di perempatan itu, meski hujan sore tak begitu deras, aku selalu ingin agar lampu lalu lintas di ujung sana memendarkan warna hijaunya. Tentu bukan sekedar harapan untuk secepatnya tiba di rumah, dengan gambaran secangkir kopi panas, senyum hangat istri dan canda riang anak-anak saja. Penampakan sosok-sosok mungil, menghiba dalam gemetar, tengadah tangannya yang menggigil itulah yang dengan jujur kuakui, membuat rasaku lebih ringan menemukan alasan, menginjak pedal gas lebih keras. Namun sayang, nyala merah lebih sering mejadi jatah. Menghadirkan kebekuan dalam sesaat bimbang. Deras hujan di persimpangan. Memaksaku untuk tak begitu saja mudah menerbangkan sandera pikiran.

“ Om.., om..., kasihan,..om”

Gemeretak lirih getar. Wajah-wajah kecil yang basah itu pucat. Keriput telapak tangannya jelas membias, terlihat dari balik kaca jendela mobil tuaku. Aku tahu, sebongkah spon kecil dan deterjen yang mereka usapkan tadi tak sepenuhnya ingin kendaraanku tercuci. Sekian menit, bahkan detik lamanya jeda lampu merah ini tak mungkin cukup. Apalagi memang niatnya bukan untuk itu. Bahkan jika harus berterus terang, “jasa” yang mereka lakukan hanya membuat kaca mobilku lebih buram menyongsong temaram.

“ Om,..kasihan, lah. Receh saja,..tak apa..”

Hmmh. Kibasan tanganku yang tegas hendak mewakili kata “maaf, tak ada” itu, tak membuat mereka surut untuk menghiba. Kucoba untuk tegarkan hati, tampakkan raut wajah dan mata hendak tak suka, lengkap dengan kerasnya isyarat menolak dan bibir yang memaksa bersuara.

“Maaf, Dik!”

“ Om...”

Ah, selalu begini. Lagi dan lagi. Setiap kutempuh langkah ini, melesat secepat kilat, tak tercegah batas-batas rasionalitas. Yang hadir di depan mataku adalah gambaran anak-anak mungilku di rumah. Mereka menggigil kedinginan tergulung derasnya hujan. Mengharap dan meminta sekedarnya saja. Terbayang jika semua pengguna jalan hendak berkeras hati sepertiku. Aku tak tahu, sejak kapan mereka bergelut dalam pelukan hujan.

Apakah perut mereka telah terisi, seperti perut anak-anakku yang setiap hari kuyakinkan apakah telah minum susu dan sarapan pagi? Dan aku pun menyerah, tak kuasa untuk menolaknya. Kucelahkan setengah kaca jendela, tampias dingin yang tertiup menyapa, kuresapi butirnya. Keping-keping receh itu pun mereka sambut dengan lemahnya. Tak ada ucapan terima kasih. Mungkin mereka lupa. Atau memang sekian lama tak ada yang mengajarinya. Bisa jadi juga, hempasan dingin hujan yang begitu meresap pada tubuh-tubuh mungil itu, membuat mereka tak lagi kuasa lirihkan kata. Masih samar kulihat sepintas, ada anggukan lemah kepala. Merampas sebagian gundahku yang kucoba redam sembari merapatkan kaca, bersama sisa-sisa tetesannya.

Ketika bias hijau tiba. Dan aku kembali melaju. Derai-derai hujan itu mewakili riuh yang tak mudah luruh. Datang sepintas bisikan menyalahkan. Kulawan dengan ego pembenaran.

“ Kau tidak melakukan hal yang semestinya. Keping-keping recehmu, membuat mereka akan kembali melakukan itu. Kau tidak mendidik mereka melakukan hal yang benar!”

“ Ah. Enak saja kau berkata. Kalau semua orang tak menjatuhkan recehnya, mereka akan menggigil kedinginan. Sakit, demam, kelaparan dan mungkin mati di tepian jalan, berselimut dingin dihanyutkan hujan!”

“ Itu bukan urusanmu! Sudah ada yang harus memelihara mereka! Kalau ingin mereka tak menderita, receh pemberianmu itu justru racun yang terbiasa! Jangan tanggung-tanggung kalau hendak sok dermawan!”

“ Lalu urusan siapa? Kalau di depan mata, masih seperti itu kenyataannya? Salahkah aku memberi recehku? Persetan dengan penilaianmu! Untuk hidupku, anak-anakku pun aku masih berjuang siang malam. Terus terang! Aku belum mampu menjadi semulia maumu! Biarlah keping-keping recehku itu, membuat perut mereka tetap terisi. Melawan dingin sore ini..!”

“ Kau salah!”

“ Biarlah!”

“ Egois..”

“Arrghh..!!”

Dan perang-perang bisikan itu tak mudah untuk terusir keluar, atau terhindarkan. Bahkan setelah jalanku makin laju dan berlalu sekian jarak dari perempatan, persimpangan itu. Memang, boleh saja dianggap aku membesar-besarkan rasa. Entahlah, kenyataannya aku tak semulia itu. Yang jelas, dilema sekian saat itu, akan sejenak menyingkir dan terlupakan ketika tapakku menyapa teras rumah. Bersama secangkir kopi panas, senyum hangat istri dan canda riang anak-anak, dalam peluk kasihku, tanggung jawabku.

Anak-anak hujan di perempatan itu? Ini bagai persimpangan jalan. Maafkan aku, yang tak semulia itu memilih langkah. Hanya berharap, keping-keping recehku, bukanlah sebuah kesalahan tak termaafkan. Niatku hanya ingin, hujan dan lapar itu tak membunuhnya.

.

.

C.S.

10/12/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun