Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Money

"Inefisiensi"? Belum Tentu Korupsi, Bos!

29 Oktober 2012   08:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Seru juga melihat “persateruan” antara DPR (Komisi VII) dan Dahlan Iskan (Menteri  BUMN) yang beberapa hari ini terpapar di media. Dalam istilah saya sendiri, DPR mencak-mencak karena  Dahlan Iskan tidak menghadiri panggilan (entah, panggilan atau undangan yang benar) darinya untuk mengklarifikasi temuan BPK terkait “inefisiensi” di tubuh Perusahaan Listrik Negara ( PLN) semasa Dahlan Iskan menjadi Dirutnya, yang disebutkan jumlahnya mencapai Rp 37 trilyun. Semakin “marah” DPR ketika dapat dikaitkan dengan hal ini, “keluhan” Dahlan Iskan yang tembus ke pihak Setkab tentang adanya “oknum” di DPR yang menjadikan BUMN “sapi perahan”. Hal itu ditindaklanjuti dengan adanya surat edaran agar BUMN dalam tiap proyek/kegiatan/pengadaannya tidak melakukan “kongkalikong” dengan berbagai pihak, termasuk anggota DPR. Kurang lebih demikian peristiwanya, sampai sekarang masih terlihat “panas” suasananya.

Sebenarnya, ada apa sih ini? Itu yang berputar di benak saya dan mungkin juga Anda. Polemik yang bersumber dari murni memikirkan kemakmuran rakyat, arogansi lembaga, ataukah hanya saling adu mencari citra saja? Sebagai rakyat (pihak) yang selama ini hanya mendapatkan akses dari media saja, tentu wajar jika saya penasaran dan belajar untuk mencoba melatih nalar, lalu menyampaikan pendapat. Tentu saja mencoba melihat secara keseluruhan meskipun dengan data/informasi yang terbatas, karena saya tidak mengalami langsung atau menjadi bagian dari mereka-mereka yang sedang “berlaga” di sana.

Apa yang terlihat berlangsung sekarang? DPR dan Dahlan Iskan “bersateru”. Yang menjadi titik sengketanya adalah tema tentang “inefisiensi” di tubuh PLN. Kata siapa? Kata BPK dengan hasil auditnya. Mulai terlihat garis merahnya kan? Tema utamanya inefisiensi. Pihak yang menjadi baginan utama dalam putaran sengketa ini adalah DPR, Dahlan Iskan, dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

DPR menyikapi hasil audit yang mengatakan adanya inefisiensi di tubuh PLN itu seperti api menyambar bensin. Lahap sekali. Terlihat, naluri “menyerang”nya tinggi sekali, sehingga yang terpapar ke publik adalah mereka tidak terlebih dahulu mencermati apa itu inefisiensi, kenapa terjadi dan secara logika justru menjadi pertanyaan hakiki, apakah mereka benar-benar tidak mengetahui sehingga “ngotot” mengklarifikasi? Bahkan, arahnya menjurus kepada tuduhan adanya kerugian negara dan korupsi?

Dahlan Iskan tampak lebih “santai” dalam menyikapi polemik ini. Tersirat, di samping lebih mementingkan agenda kerjanya yang lain, dia beranggapan bahwa rapat itu adalah “omong kosong” belaka. Karena jika inefisiensi itu terkait ketidakmampuan PLN memaksimalkan penggunaan gas dalam menggerakkan pembangkitnya, jawabannya sudah jelas dan Komisi VII DPR pun sudah sepantasnya tahu. Yakni, intinya PLN tidak mendapatkan pasokan gas maksimal, sehingga terpaksa menggunakan BBM, kalau tidak, bakal terjadi pemadaman. Tak perlu dia sendiri yang harus menjelaskannya, Dirut PLN pun bisa. Bahkan, jika terkait angka, Rp. 37 trilyun itu kurang, harusnya lebih besar. So? Kalau standar itu yang digunakan BPK untuk melaporkan tentang inefisiensinya, masih kurang bener cara menghitungnya! (ini tambahan dari saya sendiri).

Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan “inefisiensi” di sini? Kalau tak salah sih, jika merujuk pada pengertian secara ekonomi, kata itu ya merupakan kebalikan dari efisiensi. Secara garis besar, efisiensi itu sendiri bisa diartikan pemaksimalan serta pemanfaatan seluruhsumber dayadalam proses produksibarang danjasa.Jadi, tidak efisien atau inefisiensi dalam konteks ini bolehlah diartikan  PLN tidak mampu memaksimalkan pemanfaatn seluruh sumber daya yang lebih murah (gas) dalam produksi setrumnya. Lalu, apakah ini secara otomatis bisa dianggap kerugian negara? Bahkan serta merta “disambar” sebagai tindak pidana (korupsi)?

Bagaimana dengan pendapat BPK itu sendiri? Agar mendekati lengkap pernyataan pihak-pihak yang berada dalam pusaran keriuhan ini, mari kita analisa suara dari BPK seperti yang saya ringkas dari finance.detik.com hari ini, yakni Wakil Ketua BPK Hasan Bisri mengatakan, polemik tersebut berawal dari hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atau audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan energi primer yang salah satunya ada di tubuh PLN tahun 2009/2010.Laporan hasil pemeriksaan telah diserahkan kepada DPR dan pihak yang menjadi objek pemeriksaan di 2011.

Audit PDTT dilaksanakan langsung atas permintaan Komisi VII DPR itu memang menyimpulkan “PLN kehilangan kesempatan untuk berhemat” atau banyak disebut inefisiensi di tubuh PLN Rp 37 triliun. Jadi, yang dimaksud dengan inefisiensi oleh BPK di sini adalah kehilangan kesempatan untuk berhemat, tak jauh beda dengan definisi saya di atas.

Hasan mengaku, inefisiensi yang mencapai Rp 37 triliun saat Dahlan menjadi Dirut PLN terjadi akibat PLN gagal memperoleh pasokan bahan bakar murah yakni gas untuk pembangkit listriknya dan juga terkait gagalnya pembangunan pembangkit listrik baru berbahan bakar gas.Hal itu karena tata niaga gas yang kurang mendukung penyediaan gas bagi PLN. Gas kita lebih banyak diekspor untuk memenuhi kontrak ekspor jangka panjang dengan negara lain. Selain itu dari hasil pemeriksaan BPK, PLN juga dinilai tidak tegas dalam melakukan kontrak dengan pemasok gas. Menurutnya, tidak ada klausul sanksi dalam kontrak, yakni ketika pemasok gas tidak memenuhi pasokan gasnya ke PLN sehingga PLN harus mengoperasikan pembangkit dengan BBM yang lebih mahal dan pemeliharaan pembangkit menjadi lebih tinggi. Semua itu menimbulkan pemborosan bagi PLN, yang pada akhirnya harus ditutup dengan subsidi dari APBN.

Jadi, kalau boleh menyimpulkan, inefisiensi dalam hal ini adalah sebuah peristiwa yang sifatnya keterpaksaan langkah PLN. Buah simalakama. Namun, kalau serta merta di”serang” sebagai kerugian negara atau korupsi, masih terlalu pagi.

Memang, tak menutup mata, celah korupsi terkait hal ini bukan mustahil ada, diantaranya dalam kontrak yang dianggap tidak tegas oleh BPK itu. Demikian juga, entah termasuk dalam hal yang diaudit oleh BPK saat itu atau tidak, yakni rahasia umum berkaitan dengan pencurian setrum.

Tak ada salahnya, Dahlan Iskan nanti benar-benar bersedia meghadiri panggilan DPR, nggak usah pake emosi. Tetap santai kalau selama ini sudah merasa bekerja dengan benar. Kalau perlu, ungkap juga oknum-oknum yang disebutnya melakukan “pemerasan” terhadap BUMN, dengan risiko yang memeras dan diperas sama saja salahnya.

Untuk DPR,..hehehe. Haduh, saya lumayan bingung untuk memberi catatan akhir. Sebab, dari banyak pernyataan Effendi Simbolon, politisi PDIP yang menjadi wakil Komisi VII-nya saja, masih layak dipertanyakan, yang diungkapnya itu pengetahuan tentang substansi ataukah hanya emosi:


" Ini perkara besar, tulisannya saja 'PLN kehilangan kesempatan untuk berhemat' sebenarnya itu artinya kerugian negara, jadi kalau sudah kerugian negara ini sudah tindak pidana, jadi jangan main-main "

"Janganlah bersembunyi di balik presiden dengan alasan kunker (kunjungan kerja). Kalau presidennya tahu ya malu juga. Apalagi dituding mempolitisasi, kalau pun itu tuduhannya ya karena kami semua di sini politisi "

"Siapapun yang membuat negara rugi dia korupsi, ini pidana, kalau beliau merasa benar terangkan ke kami. Ingat, kami tidak menghakimi, kami juga dalam waktu dekat akan memanggil Mantan Menteri ESDM, ini biar jelas penyebab kenapa PLN bisa gagal berhemat Rp 37 triliun"

"Kami akan panggil paksa Dahlan karena kami punya kewenangan. Ada pasalnya dalam tata tertib, ini bukan perkara kecil. Century saja Rp 6 triliun sangat besar, dampaknya ini Rp 37 triliun lho"


Wah. Pak Pendi, biasa saja kalee. Beneran, nih belum ngerti? Inefisiensi belum tentu korupsi, Bos! Ya, sudah. Mudah-mudahan, kalau besok-besok Dahlan Iskan datang, tak usah emosi ya. Siap tertawa dong, dia sudah nyiapin bahan “lawakan”nya lho..

.

.

C.S.

Pake Kompor Gas, efisien!

Lha iya, Deket warung gas, kok!

Referensi:

http://finance.detik.com/read/2012/10/29/091759/2074677/1034/ini-penjelasan-bos-bpk-soal-polemik-rp-37-triliun-antara-dahlan-dpr?991101mainnews

http://id.wikipedia.org/wiki/Efisiensi_(ekonomi)

http://nasional.kompas.com/read/2012/10/25/1750560/DPR.Akan.Seret.Dahlan.ke.KPK.

http://nasional.kompas.com/read/2012/10/25/17394557/Inikah.yang.Membuat.DPR.Geram.kepada.Dahlan.

dll...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun