Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengelus Dada

25 Juli 2012   10:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengelus dada ketika menyikapi tingkah lakunya”. Itu istilah yang sering kita ungkapkan saat berupaya menahan emosi atau amarah. Bahkan sering bukan sekedar ungkapan saja tapi ada yang refleks diimbangi dengan gerakan fisik, ngelus dada beneran.

Setiap manusia normal pastilah bisa timbul rasa amarah, sebagai respon dalam menyikapi segala kejadian yang menimpa dirinya. Banyak hal yang bisa menyulut rasa emosi atau amarah ini. Hinaan, perlakuan tidak adil, atau sebab lain yang mengacu tidak sinkronnya apa yang diharapkan dengan apa yang dialami.

Rangsangan amarah itu ibarat aliran panas yang berjalan merambat. Dari luar menuju ke hati, lalu mengalir ke otak yang selanjutnya memberikan perintah untuk menyikapi. Meski tak mutlak, namun karakter sesorang memegang peranan besar. Ada yang berkarakter bensin ada juga yang berkarakter air. Pada karakter bensin emosi mudah sekali terbakar meskipun setitik saja percikan api menjilat rasa. Ada juga yang mengistilahkan ini sebagai karakter “sumbu pendek”, seperti petasan atau dinamit, begitu tersulut langsung merambat cepat dan ...buuum!!.., meledak. Ledakan itu bisa berupa reaksi fisik seperti menampar, meninju, mencakar ataupun berteriak koar-koar dan tindakan negatif lainnya. Sedangkan untuk karakter air, sambaran panas itu berusaha diredam hingga suhunya menjadi dingin, hingga respon yang keluar pun menjadi sejuk. Andaipun serangan api itu sedemikian besar, butuh proses panjang untuk membuatnya mendidih dan meletup.

Maka itu, hati atau perasaan berperan penting menjadi peredam segala asupan panas atau negatif. Di sanalah proses pertahanan dalam menyambut serangan. Sehingga wajar ketika rangsangan-rangsangan membara itu sering terasa panas di hati/dada, namun bagaimanapun juga alangkah baiknya bisa ditahan ataupun di redam, sehingga aliran yang merambat ke kepala tetap dingin. Menarik nafas panjang, menyerap segala hal sejuk dan positif, dan juga berinterospeksi. Dada boleh panas tapi kepala harus tetap dingin, agar tindakan yang keluar dari perintah otak kita adalah hasil kejernihan yang meresap pada isi kepala.

Jadi ada benarnya kalau ada yang mengelus dada ketika berusaha bersabar, reflek yang bagus, mungkin agar proses pendinginan itu lebih maksimal. Akan terlihat aneh ketika kita diuji emosinya dengan reflek mengelus kepala, tapi ya tak apa, asalkan sudah dingin semenjak mengalir dari hati. Daripada mengelus dada enggak, mengusap kepala juga tidak dan langsung jegar jeger mencak-mencak. Apalagi kalau marah-marah tanpa tahu sebab.

Salam sabar, jagalah hati.

.

.

C.S.

Belum botak..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun