Apakah ada di antara Anda yang pernah atau sering bermain Golf? Kalau ada saya penasaran ingin bertanya, apa sih asiknya main Golf? Beneran, nih, latar belakang Anda bermain adalah karena menyukai, ingin berolah raga, rekreasi atau pertimbangan-pertimbangan lainnya (bisnis, loby, negosiasi dan sebagainya)?
Tampaknya pertanyaan pribadi saya itu tak jauh beda dengan “dilema” yang saat ini berkembang. Yakni pro kontra tentang golf itu sebenarnya olahraga atau hiburan. Pemerintah pun terkait pengenaan pajak sempat “terbawa” pada alternatif mengambil dua-duanya, olahraga dan hiburan. Sehingga sebelumnya mengenakan juga pajak hiburan bagi para pengusaha tempat atau arena golf di samping pajak fasilitas olah raga itu sendiri (PPn).
Tapi para penyedia lapangan olahraga golf kini boleh bernapas lega. Karena pemerintah tak bisa lagi mengenakan pajak hiburan bagi para pengusaha tempat atau arena golf. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya pada pasal 42 ayat (2) huruf g, yang diajukan oleh Asosiasi Pemilik Lapangan Golf Indonesia (APLGI) dan sembilan perusahaan lapangan golf, antara lain PT Pondok Indah Padang Golf (Tbk), PT Padang Golf Bukit Sentul, PT New Kuta Golf and Ocean View, dan PT Damai Indah Golf, dengan menyatakan bahwa pengusaha lapangan golf tidak perlu membayar pajak ganda, yakni olahraga dan hiburan.
Meski keputusan itu sudah ada dan harus dilaksanakan, patut disimak juga dissenting opinion dari Ketua Majelis Konstitusi Achmad Sodiki yang beranggapan bahwa olahraga golf merupakan hiburan yang mengandung unsur olahraga dan juga mengandung unsur pencitraan, sehingga tak terhindarkan kesan bahwa olahraga golf merupakan permainan yang eksklusif. Semakin besar kemampuan membayar, semakin besar beban yang dikenakan kepadanya. Ini semua merupakan upaya meratakan keadilan sosial. Demikian juga menurut pemerintah, tak bisa dipungkiri kebanyakan permainan golf adalah untuk mendapatkan kesenangan. Jadi pengenaan pajak hiburan kepada pengusaha arena golf bukan perlakuan diskriminatif.
Memang sih, karena pertimbangannya adalah asas keadilan sesuai UUD 45 sehingga pajak ganda itu tidak pantas dikenakan, pemerintah harus mematuhi. Tapi kenapa ya, saya sendiri kok masih merasa “kurang pas” kalau pajak hiburan untuk penyedia lapangan golf ini ditiadakan. Tidak bisakah ada kompensasi lain yang dianggap bisa menjadi “pengecualian” khusus untuk olahraga yang satu ini. Bukankah besaran pajak itu bisa dikalkulasikan pada biaya yang dibayar oleh para “penggemar” permainan golf, yang bisa di bilang 100% mampu? Apalagi setelah proses “berolah raga” golf itu mereka bisa mendapatkan deal bisnis, proyek, bahkan lebih berpeluang naik jabatan karena sering menemani atasannya bermain golf ini.
Maaf nih, itu karena saya yang orang kampung(an) ini masih heran kenapa kegiatan memukul bola dengan tongkat ke arah lubang, lalu berjalan, lalu memukul lagi sampai bisa masuk bolanya itu ada yang “menyukai”, bahkan resmi menjadi salah satu cabang olahraga. Secara subyektif saya menganggap permainan ini membosankan baik untuk yang bermain ataupun menonton, paling “serakah” dalam menghabiskan lahan (apalagi hasil penggusuran) dan hanya lebih sering dimanfaatkan untuk menunjukkan status (eksklusifitas/kemewahan) serta kepentingan-kepentingan lain diluar permainan golf itu sendiri.
Golf adalah olahraga. Iya, olahraga yang juga hiburan dan di Indonesia ini sering beralih fungsi menjadi sarana memperlancar kepentingan. Sekali lagi, ini subyektif, hasil pengamatan dan penilaian saya pribadi.
Salam olah raga!
.
.
C.S.
Satu kalipun belum pernah, kalau “benthik” dan gundhu, waktu kecil sering..
referensi:
http://nasional.kontan.co.id/news/pengusaha-golf-bebas-pungutan-pajak-hiburan
http://m.tribunnews.com/2012/07/18/lapangan-golf-tak-perlu-bayar-retribusi-ganda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H