Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cakrawala yang Kau Punya

12 Juli 2012   11:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore yang belum temaram, mentari masih menyisakan belaian sinarnya, hangat keemasan setia menyusup celah-celah daun ketapang, yang pohonnya tumbuh teduh di tengah taman rumah ini. Berkas biasnya suguhkan bayang-bayang perdu yang tampak lebih menjulang, demikian juga pantulan sosokku yang duduk menunggu pada kokohnya bangku panjang. Seperti pagi, di kala sore seperti ini bayangan yang tercipta dari matahari akan tampak lebih meninggi, melebihi sosok nyata dari apapun yang ia sinari.

Dia tertatih pelan menuruni undak-undak batu menuju ke arahku, dengan secangkir kopi yang dengan tulus hendak ia suguhkan. Gadis berparas ayu yang bibir mungilnya selalu sunggingkan senyum syahdu. Hembusan angin kecil meniup gerai rambutnya yang beriapan sebahu, jemarinya lembut mengusap sebagian helainya yang jatuh mengusik halusnya kening, tarian yang aku tak jemu memandang. Apalagi kedua bening mata indah itu, yang selalu menatap suatu ujung meski tak bertepian. Cakrawala...! Itu katanya saat kutanya apa sebenarnya yang selalu ia pandang.

“ Hati-hati, Ning...”, Aku hendak beranjak ke arahnya, saat kulihat ia sedikit hilang imbang.

“ Hihihi,..tenang saja, Mas Surya. Aku hanya pura-pura kok, setiap lekuk jalan di rumahku ini sudah kuhapal di luar kepala..”

“Hehe,iya..,aku tahu. Hanya kuatir kopi untukku tumpah, itu saja..”

“ Ihh,..dasar..!”

Aku suka ia merajuk, manjanya yang hanya sebatas paras, paparkan rona merah yang indah. Seperti merasakan seluruh sejuk menyatu, saat ku usap lembut pipi itu. Ia tak pernah menolaknya, hanya terpejam sesaat lalu meremas rindu jemariku di sana. Ah, indahnya.

“ Kurang manis, Ning, kopinya...”

“ Emang sengaja, .... jangan kebanyakan gula, Mas..”

“ Kamu juga,.. jangan terlalu ngirit, ah.., ini beneran, kurang manis..”

“ Udahlah, memangnya aku kurang manis..?”

“ Genit..”

“ Biarin..”

Tapi memang benar yang ia katakan, segalanya terasa manis saat berdua menikmati sore dengannya. Meski tak setiap sore aku bisa menyisihkan waktu untuk menemuinya, karena lebih sering berkarya di luar kota. Seteguk demi seteguk kopi hasil curahan tulusnya menghangatkan rasa. Apalagi sembari menatap wajah yang ronanya seindah cahaya, dan yang pasti teduh telaga matanya.

“ Ning,..apa yang kau lihat kali ini? Masih sama?”

“ Tentu masih sama, Mas. Aku menikmati indahnya cakrawala ..”

“ Bersabarlah, Ning. Aku akan hadirkan cakrawala itu untukmu..”

“ Mas Surya, aku telah lama menikmati ini, tak usah melelahkan diri. Hadirmu saat inipun, sebuah keindahan lain untukku, aku berterima kasih untuk itu..”

“ Aku akan terus menemanimu..”

“ Tak usah berjanji, Mas. Aku tahu segala resahmu, sejak dulupun aku telah siap jika suatu saat Mas pergi meninggalkanku..”

“ Ning,..kau salah. Aku tak pernah resah untuk ini..”

Dia tersenyum lepas, indah menyongsong keraguanku.

“ Mas Surya, mataku memang buta, tapi hatiku selalu membisikkan kata..”

Aku tak lagi membantahnya. Seperti yang selama ini kami lalui bersama, selama waktu sanggup mendewasakan hati, kami lebih ingin menikmati suasana yang ada. Merengkuhnya adalah kedamaian sampan yang berlabuh, kepasrahannya bersandar di dada adalah rasa berharga tiada tara. Bersamanya seakan menurunkan garis indah cakrawala di depan mata.

Andai saja kami bisa saling menukarkan satu saja bola mata, pastilah lembayung senja pun akan menjadi untaian bersama.

Seperti pagi, di kala sore seperti ini bayangan yang tercipta dari matahari akan tampak lebih meninggi, melebihi sosok nyata dari apapun yang ia sinari. Demikian pula sinaran bayang kami yang damai berpelukan, menunggu hingga senja temaram.

***

.

.

C.S.

Fiksi murni,..Salam fiksiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun