Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Money

Down Payment KPR 30% Bikin Pengembang "Down"?

10 Mei 2012   11:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum terlalu dingin informasi yang disajikan berbagai media tentang Peraturan baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang melakukan pemberian KPR dan KKB. Lebih fokus pada bidang real properti, dalam hal ini yang bisa dan telah dianggap sebagai pengetahuan bagi masyarakat tentang itu adalah peraturan (baru) pembayaran uang muka (down payment) untuk tipe bangunan di atas 70 m2 minimal 30% dari harga rumah.

Secara prinsip layak diapresiasi peraturan yang jika tak salah mulai berlaku pada 15 Juni mendatang ini. Dapat diperkirakan, latar belakang pemerintah/BI mengeluarkan beleid ini adalah mewaspadai adanya gelembung/buble dalam bidang perumahan, seperti yang waktu lalu terjadi di negeri Paman sam (subprime mortgage). Tak berlebihan sebenarnya kekhawatiran ini, mengingat tren yang nampak bahwa pembeli properti/rumah bukan hanya konsumen yang belum dan ingin memiliki rumah saja, namun telah banyak yang menjadikannya sarana investasi. Uang muka di bawah 30 % harga rumah seperti yang selama ini banyak dilakukan pengembang tentu saja membuka “peluang” untuk terjadinya “buble” yang dikhawatirkan pecah saat kredit-kredit itu macet. Dari sisi lain wajar pula kebijakan untuk mencegah adanya tindak pidana pencucian uang dalam bidang ini, seperti yang ada dalam UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Yang mana pada Pasal 17 dan 27 mewajibkan pengembang melaporkan seluruh transaksi penjualan rumah senilai miminal Rp.500 juta dan memberikan keterangan jika ada dugaan unsur pencucian uang.

Memang, peraturan ini akan menuai resistensi terutama dari para pengembang, karena sangat dimungkinkan menggerus pasar ataupun keuntungan mereka. Konsumen akan menunda/membatalkan pembelian rumah (KPR) mereka pada tipe 70m2 ke atas atau beralih pada tipe-tipe di bawah itu.

Secara keseluruhan, sebenarnya kebijakan ini cukup berimbang. Karena yang patut diperhatikan kepentingannya dalam bidang properti ini adalah konsumen/rakyat, bank pengucur KPR, pengembang dan kestabilan perekonomian secara makro. Masyarakat dituntut untuk lebih rasional dalam membeli/investasi properti sesuai kemampuan, bank dituntut lebih prudent dalam menyalurkan KPR (bukan hanya mengejar target pengucuran) dan pengembang harus lebih kreatif mencari terobosan dalam memberikan “dagangan” yang baik pada konsumen.

Sepintas, terkesan bahwa pengembang menjadi pihak yang “kesulitan”, namun setidaknya aturan ini bisa menjadi cambuk bagi mereka untuk memberikan yang terbaik pada konsumen. Sudah banyak terjadi, selama ini pengembang berada pada posisi yang “terlena” dengan target keuntungan saja. Bukankah mereka tak terkena efek ketika KPR itu macet? Bahkan banyak pengembang sering melupakan konsumennya ketika dagangan mereka telah laku. Di antaranya, mengabaikan tanggung jawab terhadap mutu bangunan, menunda-nunda pemecahan sertifikat ataupun hanya bermanis muka pada “calon” pembeli saja. Bahkan banyak yang “ melarikan diri” ketika lokasi yang ia jual terkena kasus hukum, lagi-lagi konsumen yang kena getahnya.

Aturan ini secara umum positif untuk melindungi/memperhatikan masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan rumah bertipe di bawah 70m2 (rumah sederhana). Dan pengembang pun sudah seharusnya mengoptimalkan pangsa pasarnya pada konsumen ini. Meskipun tidak bisa dijadikan dalih bahwaFasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari Kemenpera hanya memberikan bantuan pada rumah minimal tipe 36 m2 dengan harga maksimal 70 juta saja, yang berarti menurut pihak pengembang marginnya tipis, pemerintah tetap bisa meninjau ulang ketentuan ini. Tentu saja harus benar-benar terukur, yakni benarkah dengan harga itu pengembang benar-benar “kepepet”?

Disamping itu, pengembang janganlah “manja”. Jangan "down" dulu lah, kreatif. Basic utama bisnis perumahan/properti tentu saja adalah adanya pembeli, dana, serta bank sebagai penyalur KPRnya, tidak melulu mengandalkan FLPP saja. Ingat! Masyarakat kelas menengah ke bawah masih banyak yang membutuhkan rumah, bukan untuk investasi, namun sebagai tempat tinggal. Kreatif dalam mengembangkan lokasi, pelayanan yang peduli serta harga yang terjangkau akan membuat pembeli itu tetap berduyun-duyun membeli, meskipun mencicil tapi serius, tak ingin macet dalam pembayarannya.

Tipe 36 m2 seharga Rp.70 juta tipis marginnya? Yang bener ah? Tergantung lokasi dan mutu bangunan kan? Jangan gede-gede lah, ngambil untungnya.

.

.

C.S.

NB: Terkait data mengambil dari berbagai sumber dan tercatat sebagai pengetahuan penulis.

Jika ada yang kurang tepat, sebuah koreksi tentu diterima dengan senang hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun