Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tukang Foto Keliling Vs Teknologi

15 Mei 2012   02:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:17 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_188363" align="aligncenter" width="640" caption="Tukang Foto Keliling (Dok. Pribadi)"][/caption]

Sekitar tahun '80-an profesi tukang foto keliling sempat memiliki masa “jaya”nya. Pekerjaan menawarkan jasa memotret yang sering dijumpai terutama di tempat-tempat wisata/acara khusus ini sempat menjadi tren ketika jaman teknologi “foto langsung jadi”. Itu loh, kalau nggak salah, yang dinamakan teknologi “polaroid”. Yang ketika selesai mengambil gambar, kertas/lembar foto dikibas-kibas, ..pek..epek..epek, lama-lama gambarnya nongol, jadi deh! Memang, hasil fotonya lumayan, tapi lembar fotonya tampak tebal di belakangnya (seperti ada semacam spon). Jelas, mereka cukup laris saat itu, karena sifat “narsis” sudah dari dulu ada dan teknologi belum semudah sekarang ini.

Seiring bergulirnya jaman, profesi ini sepertinya terpaksa tertatih-tatih untuk bisa sekedar eksis. Dengan problem serupa, bahkan produsen sekelas KODAK pun harus gulung tikar karena menyerah, salah satunya karena menghadapi tantangan ini.Teknologi polaroid dan sejenisnya sudah tergusur kehadiran foto/cetak digital yang mampu dioperasikan setiap orang via ponselnya, meskipun penggemar foto polaroid baru-baru ini berusaha bernostalgia mengenang/mempopulerkan kembali.

Para tukang foto keliling ini sampai sekarang masih ada dan berusaha bertahan, tentu saja dengan mencoba beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi yang ada serta mengubah pola kerja/“pemasarannya”. Polaroid jelas tidak ia gunakan lagi, kamera digital sudah mereka pergunakan. Yang berbeda adalah cara mereka menawarkan jasa. Dahulu mereka menawarkan jasa “untuk memotret” saja, sekarang lebih fokus pada menawarkan jasa dan “menjual hasil jepretannya”. Dulu memotret dengan “meminta ijin” dulu, sekarang sering “diam-diam”.

Tentu saja saya tak ingin mengait-ngaitkan dengan masalah “etika” dan menyamakan mereka sebagai “paparazzi”, karena yang satu ini jelas memiliki definisi sendiri, terutama dalam dunia jurnalistik. Selain “niat utama” mereka adalah mencari nafkah, saya yakin mereka pun mempertimbangkan momen yang pantas menyangkut orang yang di fotonya. Karena setahu saya mereka bisa “menempatkan diri”, dan belum pernah saya temui tukang foto keliling ini di”semprot” atau bahkan di banting kameranya oleh pihak yang dipotretnya “diam-diam”. Obyek/orang yang diambilnya sebagian besar adalah momen-momen terbaik/bahagia, dengan harapan pihak yang difoto bersedia membeli hasil karyanya. Entah, apakah ketika pihak pembelinya sepi, foto itu disimpan atau dibuangnya.

Yang sedikit menjadi fokus tinjauan di sini adalah nasib profesi mereka dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin maju. Yakni ketika tiap orang telah bisa dengan mudah mengambil posisi sebagai fotografer dengan gadget yang telah memenuhi keinginan tampil/narsisnya.

Sering terlihat, mereka semakin lama menjadi semakin sepi pembelinya, jadi sering terpaksa banting harga. Harapannya sih, itu bukan profesi utama, hanya sambilan karena mereka telah memiliki studio foto sebagai usaha utamanya. Namun jika tidak? Sepertinya mereka harus lebih kreatif lagi dalam memaksimalkan potensinya. Misalnya, mengambil obyek yang indah/pemandangan, lalu di cetak ukuran besar, dibingkai indah layaknya lukisan lalu dijual. Atau bisa juga memanfaatkan media online untuk menjual foto-foto kreatifnya. Yang paling diharapkan adalah pihak-pihak yang telah sukses bergelut dalam dunia fotografi bersedia “mengajak” mereka untuk maju bersama, baik itu dalam balutan komunitas, pembinaan, ataupun mendekatkan jarak mereka pada akses permodalan.

Semoga mereka mampu kreatif dan beradaptasi.

.

.

C.S.

Ingat jaman dulu, jepret..., pek..epek2!, jadi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun