Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Tiara] Senyum Pasrahmu, Menyiksaku

8 Mei 2012   08:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:33 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, langit Bandung lumayan mendung, dengan cuaca lebih dingin dari biasanya. Namun sulit untuk menebak, apakah hujan akan segera turun atau memilih urung menyapa, karena gelapnya tidak terlalu pekat, apalagi hembusan angin, yang tampak menggugurkan daun-daun kering di tepian jalan, masih sangat mungkin menyingkirkan awan-awan hitam di lapisan langit sana.

Sebenarnya aku lebih berharap mendung ini menghadirkan hujan, bahkan yang paling deras sekalipun. Agar menemukan alasan yang wajar untuk lebih lama bersama di lambatnya mobil yang dikendarainya, atau menepi ke rumah makan Ampera yang sama-sama kami suka. Berdua dengan Tiara, setelah sekian tahun berlalu, tak kusangka kami akan bertemu.

Seminar yang baru saja usai aku ikuti ternyata menyajikan kesan lain, karena wanita masa lalu ini juga hadir menjadi pesertanya. Dan saat ini, seolah memberikan penuntasan tentang beban rasa yang selalu tertunda.

Tiara tak banyak berubah, tetap cantik seperti dulu. Mungkin usia yang membuatnya tampak lebih lembut, tak lagi tomboi seperti saat kami masih bersama, delapan tahun yang lalu. Meski kutangkap ada bahagia yang terpancar di wajahnya, sama seperti yang kurasa, namun tetaplah kami terhadang suasana sungkan dan sedikit beku, karena riwayat lama itu tak mungkin begitu saja berlalu.

Dan macetnya jalanan kota ini, seakan mengerti bahwa meskipun sekejap kami sangat membutuhkan waktu, untuk sekedar mengisi rasa rindu yang tak mungkin kami tutupi.

“ Bandung makin macet sekarang, Mas”, ujar Tiara sembari menyibak anak rambut di dahinya. Sebuah gerakan lembut yang sedari dulu selalu aku suka.

“ Iya, sih. Tapi masih mending, udaranya agak sejuk, daripada Jakarta”

“ Hihi, kalau itu sih, nggak komen Mas Surya. Heran, mau-maunya pada tinggal di sana, ya,..xixi..”

“ Nyindir, nih..?”

“ Oh, kesindir toh? Hehe..”

Kami sedikit tertawa, agak mencair suasana. Saat kemudian lalu lintas berjalan kembali perlahan, adakalanya Tiara mampu melajukan mobilnya, begitu lincah ia dibalik kemudi, namun saling berselang, perjalanan tersendat lagi, karena beberapa persimpangan yang kami temui.

Beberapa ruas menyimpan kenangan, sedikit menjadi bahan obrolan, tentang kisah lama. Pada Jalan Braga kami sejenak berseri, dulu di sana, sering habiskan senja untuk berfoto bersama. Tapi pada sebuah rumah megah di sisi ruas jalan berikutnya, kami tercekat dalam diam. Itu rumah ia dan keluarganya. Tatapan kami sama-sama kosong kesana. Seperti sepakat, kami tak ingin mengenangnya, karena di sana aku dahulu tak pernah diterima, hanya hinaan membunuh harapan yang selalu keras menyapa. Sebuah pilihan wajar saat ini, untuk mencari cerita yang lain saja.

“ Gimana kabar istri dan anakmu, Mas?”

“ Baik,...baik semuanya. Kabar papamu gimana?” Tak mungkin aku menanyakan hal yang sama sebaliknya, karena meskipun sekian lama tak sua, aku tak pernah kehilangan kabar tentangnya. Tiara sampai sekarang belum berniat memilih pasangan hidupnya.

“ Papa? Sehat, Mas. Tapi jelas tambah tua,..haha”, Dia tertawa, tapi kutangkap ada yang tersekat ditengahnya, tanda itu bukanlah tawa sesungguhnya.

“ Tiar..”

“ Hm,..ya, Mas..”

“ Aku minta maaf lagi..”

“ Untuk?”

“ Semua,.... yang dulu,..”

“ Sudahlah,... Mas. Bukan sepenuhnya salahmu?”

“ Salahku...”

“ Bukan..”

Entah, apakah arah pembicaraan itu keliru atau tidak, namun tak mungkin kami hindari, karena semua yang pernah terjadi bagaikan belum lama berlalu. Pahit dan manis itu mau tak mau masih selalu terkuak, apalagi ketika kami diberikan waktu untuk bertemu, seperti saat ini. Walaupun itu semua tetap akan kami tinggalkan dan menutupnya sebagai lembaran lama. Lalu kami lebih banyak terdiam, dalam semburat riuhnya masing-masing rasa, yang mungkin sama relungnya, yaitu kenangan dan penyesalan yang belum sanggup dikubur dalam-dalam.

Aku menggumam dalam hati, kenapa kemacetan itu tak terlalu lama, sehingga tak terasa telah tiba di pool travel tempat tujuan dia mengantarku. Namun tak mengapa, pertemuan kami ini semoga cukup kiranya mengobati.

“ Cipaganti yang sini kan, Mas?”

“ Iya, makasih, ya..”

Tiara tersenyum, tipis namun tetaplah manis. Mobil kami menepi, kulihat dia agak enggan membuka lock pintunya, sepertinya masih ada yang ingin ia katakan. Ah, mungkin apa yang dia rasakan sama denganku, pertemuan ini terlalu singkat. Dan kami sama-sama berjuang untuk menaklukkan rasa, masa lalu yang harus terbang dan hinggap pada tempat yang semestinya.

“ Mas, salam untuk istri dan anakmu, ya”

“ Iya, salam juga untuk papamu”

“ Makasih, Mas..”

Aku pun beranjak turun, meski saling biaskan senyum, kami merasakan perpisahan seperti dulu itu masih saja ada. Padahal nyata-nyata kami memang telah berpisah.

Sejenak kuhentikan langkah, ada terlupa yang ingin kusampaikan padanya. Kulihat mobilnya belum bergerak, segera kuketuk kaca jendelanya. Sekian detik barulah kaca itu bergeser terbuka. Wajah yang dulu begitu sering kubelai itu tampak gugup menyapa, ada yang bergegas ia ingin mengusapnya.

“ A..ada apa, Mas..”

“ Oh..enggak,..aku lupa bilang sesuatu”

“ Apa itu..?

“ Tiar,..segeralah menikah..”

Dia tak segera menjawab, tersenyum murung, parasnya layu menatapku. Lalu dengan lembut menyingkap kembali helai-helai rambut yang sedikit mengganggu wajahnya.

“ Emmm,...Aku pulang dulu ya, Mas. Hati-hati di jalan..”

“ I..iya, makasih,..kamu juga..”

Mobil itu segera berlalu, menyisakan sekilas lambaian tangannya, lalu menyatu dengan riuhnya jalanan.

Sedikit kusesali kata terakhirku, yang tidak mampu ia jawab, namun itulah harapan terbesarku. Sungguh, aku ingin Tiar segera memilih pasangan hidupnya dan... menikah. Ah,..Tiara, aku tak ingin terlalu lama didera rasa bersalah, karena dulu tak mampu menerjang tembok-tembok tebal, yang menghalangi jalanku memilikimu, hingga terpaksa menyerah dengan jalan berpaling mengkhianatimu. Andaikan saja kau mau membenciku, rasa sesal ini tak akan begitu berat menghimpitku. Namun senyum pasrah dan juga air matamu itu begitu perih menyiksa rasa bersalahku.

Menghempas nafas, aku duduk di bangku ruang tunggu. Hembusan-hembusan angin terasa lebih dingin. Ternyata hujan tetaplah turun, deras mencurahkan percik-percik basahnya. Kuharap Tiara berhati-hati mengemudikan mobilnya, selain hujan yang berkabut, sekilas tadi kulihat embun basah masih menggenang di kelopak matanya. Satu harapan yang tersisa, semoga dia bahagia, seperti sekarang akupun bahagia, meskipun kenangan itu tak akan mudah terlupa.

Dan aku ingin segera tiba di Jakarta.

***

.

.

C.S.

Tak di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun