Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Money

Wake Up Biofuel!

8 Maret 2012   08:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan April 2012 tak urung telah memicu berbagai polemik. Terlepas dari adanya pro ataupun kontra, sebuah kenyataan memang telah mengemuka bahwa negeri kita sekarang posisinya bukanlah produsen minyak bumi, namun telah menjadi konsumen. Tidak lagi eksportir namun net importir. Tak ayal setiap harga minyak dunia bergejolak meningkat, kita pun kalang kabut ketika hendak menyesuaikan harganya. Kelimpungan menghitung dengan berbagai formula subsidi yang paling mungkin diterapkan. Serba salah ketika kita memang masih bergantung pada subsidi pemerintah. Ketika subsidi dikurangi, banyak rakyat berteriak karena kemampuannya masih cekak, namun jika tidak dikurangi/ditiadakan APBN yang akan berat menanggung beban. Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi sekalipun ditengarai anggaran negara tetap jebol (defisit). Dalam RAPBNP 2012 nyata terlihat bahwa meski harga BBM dinaikkan Rp.1500,- anggaran subsidi energi tetap naik ke angka Rp. 60 trilyun dan defisit mencapai Rp.190 trilyun.

Di luar berbagai pertanyaan terkait apakah efisiensi telah diterapkan, kenaikan subsidi ini karena bukan hanya BBM yang masih membutuhkan namun beberapa pos lain pun masih bergantung pada subsidi ini, listrik misalnya. Nah, mudah-mudahan kenaikan harga BBM ini jika nantinya diterapkan tetap mampu diadaptasi oleh rakyat dan kebijakan seiring yang bertujuan meminimalkan kesulitan rakyat dapat diterapkan dengan maksimal.

Pengalaman dimana beberapa masa ini setiap harga minyak dunia melonjak dan negeri ini selalu dilanda kebingungan yang sama terkait kebijakan BBM, ada baiknya kita berpaling lebih dalam mengenai potensi energi yang ada di negeri ini. Cadangan minyak kita semakin menipis, meski mungkin masih ada sumber yang belum kita maksimalkan. Namun semua juga tahu bahwa minyak bumi ataupun juga batu bara tetaplah suatu saat akan habis dieskploitasi (tak terbarukan). Boleh saja dan bagus rencana pemerintah untuk mulai beralih ke alternatif Bahan Bakar Gas (BBG) karena saat ini masih berlimpah, namun tetaplah suatu saat akan habis juga. Alangkah baiknya jika agenda menggeliatkan alternatif energi terbarukan digalakkan kembali. Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel akan sangat mengambil peran dalam pemenuhan energi ke depan.

Namun sepertinya pergerakan pengembangan/penerapan biofuel ini berjalan sangat lamban. Padahal banyak negara sudah menerapkannya. Dari pemahaman sederhana Saya saja selama ini tahu bahwa “booming” ekspor CPO (Crude Palm Oil) kita ke negara lain/maju digunakan sebagai bahan pembuatan biofuel. Ini yang sering terlintas menjadi pertanyaan. Jika di negara maju minyak sawit kita itu mayoritas digunakan sebagai bahan pembuatan biofuel, mengapa negeri kita sendiri tidak memaksimalkannya menjadi biofuel? Memang dalam jangka pendek ekspor CPO itu menguntungkan, tapi hanya beberapa pihak yang menikmatinya. Ini pun tetap berfluktuasi karena masih terpengaruh harga CPO dunia, apalagi ada polemik baru terkait ditolaknya produk CPO kita di USA.

Beberapa tahun yang lalu geliat antusiasme untuk memproduksi biofuel sempat menggema, namun selanjutnya seperti “tertidur” kembali. Padahal jika terkait potensi, bukan tidak mungkin biofuel ini di masa depan akan menjadi produk andalan, minimal bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Tercatat dari 10 perusahaan BBN yang masih bertahan di negeri ini saja produksinya telah mencapai 1,7 juta kiloliter per tahun, sayangnya mungkin karena permintaan dalam negeri yang masih kurang, 1 juta kiloliter diekspor ke Jerman dan 700.000 kiloliter di suplai ke Pertamina sebagai bahan campuran BBM.

Dengan asumsi biofuel itu bisa digunakan dengan fungsi yang sama seperti BBM yang selama ini kita temui, lebih murah  (ini terkait penerapan teknologi berkesinambungan) dan terdapat stimulus yang serius agar penggiat/investor/pengusaha energi terbarukan ini lebih antusias mengembangkan/mendirikan usahanya dibidang ini, maka dari 200 perusahaan BBN saja dengan kapasitas produksi yang sama akan mampu memenuhi separuh dari total kebutuhan energi dalam negeri. Seperti kita tahu penggunaan BBM kita selama ini jika tak salah sekitar 40 juta kiloliter per tahun.

Sebenarnya, pada tahun 2007 sudah ada 20 perusahaan yang memproduksi biofuel, namun satu demi satu mereka berhenti berproduksi karena aturan penggunaan BBN yang kurang jelas.  Momen rencana kenaikan BBM bersubsidi ini dan diterapkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain -- meski ada sedikit heran, kenapa tidak sejak tahun 2008 diterapkan -- diharapkan membuat produsen yang ada lebih terpacu meningkatkan kapasitas produksi dan hendaknya akan lebih banyak lagi pengusaha yang bersemangat untuk terjun di bidang ini.

Tentu saja harus terus dikembangkan dan didukung inovasi serta penerapan teknologi yang semakin tinggi agar produksi biofuel ini kedepannya benar-benar bisa menggantikan peran bahan bakar nonnabati, bukan hanya dijadikan campurannya saja. Apalagi Indonesia ini diakui kaya akan sumber nabati yang bisa dijadikan bahan baku biofuel itu sendiri. Kelapa, kelapa sawit, jarak,nyamplung, pinus, cemara, jagung dan mungkin banyak lagi yang mesti digarap dengan lebih pasti. Dan sumber daya itu belum terlambat untuk tetap diregenerasi, jika keegoisan kita untuk menyepelekan alam dan merusak lingkungan demi keuntungan sesaat bisa dikendalikan. Sebuah pendapat standar dan klasik, pemerintah selaku pengambil kebijakan, investor, pengusaha dan seluruh rakyat harus berkomitmen sama, demi anak cucu kita.

Saya ingat, waktu kecil dulu suka bermain kapal-kapalan dari lempengan seng. Dengan bahan bakar minyak kelapa dan sumbu, kapal itu dapat bergerak laju. Secara pikir sederhana saja, meskipun berasal dari pohon, jika minyaknya bisa digunakan untuk menghasilkan pengapian maka disitulah energi tercipta.

Itu baru pikiran Saya, belum lagi pikiran para ilmuwan yang yakin di Indonesia ini juga berjibun jumlahnya. Pasti bisa lah, hutan dan tanah kekayaan Indonesia maha luas, tak akan habis jika dipelihara berkesinambungan. Jika sekarang Iran dan negara Timur Tengah sangat dominan pengaruhnya dalam perminyakan dunia, namun hutan dan pohon di Indonesia jauh lebih kaya. Berharap saja suatu saat nanti, meski di jaman anak cucu kita, Indonesia menjadi tempat bergantung dunia dengan produk biofuelnya. Bagaimana dengan kita sendiri? Menurut Saya jika melihat kondisi sekarang sih, saat Indonesia berhasil mencapai tahap itu, “kita sudah menjadi fosil atau bahkan sumber minyak bumi baru”.

Ayolah, bangkit biofuel! Wake up! Ini saatnya!

Salam energi terbarukan!

.

.

C.S

Inspirasi : - Koran Kontan 8/3/2012, - Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun