Beberapa masa ini, saudaraku, lelaki teduh berwajah penuh kasih selalu menyapaku. Berambut urai bercambang lebat yg luruh. Bang Brewok, begitu aku sering memanggilnya. Dia tampak kurang berkenan dengan segala tingkahku belum lama ini. Ketika aku ikut dalam rombongan berjuta lena, dengan tangan teracung hendak merajam sosok wanita yang kami anggap berlumur dosa.
Bang Brewok menepuk bahuku perlahan", Apa yang tengah kamu lakukan padanya, dik?
Betapa kesalnya, Dia selalu saja menatapku dengan senyum kasih itu. " Bang! dia itu penuh dosa. Mencuri uang rakyat, melacur dan pembohong besar!"
Masih saja Dia tersenyum", Kata siapa?"
" Kata kami semua! Banyak bukti yang menguatkan!"
" Hm, lalu hendak kalian apakan?"
" Harus dihukum seberat-beratnya, harus di permalukan!"
" Dik, dengar, jika kau masih ingin Aku menjadi Saudaramu, endapkan riuhmu!"
" Memangnya kenapa Bang?"
" Ingat, Aku pernah berkata itu, jika kau tak pernah melakukan apa yang kalian tuduhkan, kau berhak memilih dan melemparkan batu pertama itu padanya"
" Ah, Kau menyindirku lagi. Lalu harus bagaimana?"
" Percayakan urusan ini pada yang kalian anggap sebagai wakilKU di sini. Jika mereka sama saja dengan engkau tadi, biarlah menunggu nanti hari penghakimanKU yang akan tiba seperti pencuri "
" Oh, baiklah jika begitu Bang. Trims, Kau selalu ingatkan aku"
" Sama-sama, Dik. Jangan lupa berkaca, kumismu sudah saatnya dirapikan"
"Ah, Kau ini Bang, mentang-mentang brewokMu kerennya namber wan"
"Hahahaha..."
Aku sangat suka, saat hadirNya kurasa dan Kami selalu tertawa bersama.
.
.
C.S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H