Gubuk Mbah Karti lumayan jauh, harus melewati bulak. Berada barat pedukuhan. Di sana terdapat pohon waru yang besar, tumbuh miring seperti hampir roboh.Waru doyong, begitu warga sering menyebutnya.
Sudah reyot, beratap daun kelapa dan berdinding bilik keropos. Alang-alang dan pohon-pohon salak liar, tumbuh bercampur belukar. Di naungi temaram bulan, sunyi dan remang . Angin berhembus dingin, aroma pengap menyeruak.
" Apa ini Mbah?"
" Ini, untukmu nak dukuh".
" Wah,nggak usah repot-repot".
" Dilihat dulu, kamu pasti suka".
Pak Dukuh menerima buntalan kain lusuh itu. Dibukanya. Ada rantang makanan, isinya getuk goreng kesukaannya. Botol, jelas terlihat bahwa isinya madu hutan, asli. Yang membuatnya terpana adalah isi buntalan satunya lagi. Ternyata di dalamnya adalah keping-keping emas batangan.
Pak Dukuh pun berpamitan, ia ingin segera pulang. Bergegas tanpa menengok ke kebelakang, kuatir jika dikuntit hantu gentayangan. Hawa dingin dan tengkuk merinding membuatnya berlari. Namun ia bingung bukan kepalang, karena selalu salah menempuh jalan. Berputaran dan kembali lagi ke tempat ini. Dilihatnya Mbah Karti, pada rimbun pohon salak, di bawah waru doyong.
Nenek tua ini tampak berbeda. Wajah keriputnya lebih kelabu, tubuh rentanya telanjang bulat, dengan payudara kendornya menjuntai melambai. Dengan seringai ia menyapa", Nak dukuh, delengna*, opo ilat*ku iki abang*?, abaaang? Opo penthil*ku iki dowo*? dowoo? hihihihihihi....hiehehe......". Lidahnya merah darah, menjulur. Payudaranya memanjang dan menjuntai mengerikan. Lalu, kepalanya terpisah dari badan, seiring kekeh tawanya berkumandang mencekam.
" Emmb..behhk.., Memh..Mbaaahh..!"
Pak Dukuh lemas, matanya berkunang-kunang dan akhirnya gelap.