Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membaik, Memburuk, atau Begini-begini Saja?

13 September 2011   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_129733" align="aligncenter" width="300" caption="nyomot dari google"][/caption] Pernahkah atau bahkan seringkah kita berpikir bahwa hari-hari yang kita lewati berlalu begitu saja? Kondisi yang mungkin adalah apa yang kita rasakan hari ini merupakan sebuah kemajuan dibanding hari-hari sebelumnya, atau sebaliknya mungkin terjadi apa yang kita rasakan atas pencapaian kita hari ini merupakan kemunduran dibanding yang telah lalu. Dan satu kemungkinan lagi adalah kita merasa dari hari kehari tidak ada kemajuan yang signifikan dalam hidup kita. Hidup kita terasa jalan ditempat.Padahal hari terus berjalan, berganti minggu, bulan dan tahun yang menandai makin bertambahnya umur kita seiiring makin berkurangnya jatah kesempatan hidup kita. Banyak komponen yang dapat kita jadikan indikator dalam menilai tingkat pencapaian hidup kita. Komponen-komponen itu secara subyektif dapat kita pakai sebagai indikator dalam mengukur dan menyimpulkan fase-fase yang telah kita lewati terkait dengan perasaan batin dan hati kita yang berhubungan erat dengan puncak tertinggi yang ingin kita capai dalam hidup, yaitu kebahagiaan. Tentu saja sebuah hal jika disangkutkan dengan penilaian terhadap diri sendiri membutuhkan kejujuran karena hasil yang merupakan kesimpulan diri itu secara peka kita rasa dan kita pakai untuk melangkah lebih lanjut menuju taraf yang lebih tinggi dalam segala hal dalam proyeksi sebuah cita-cita hidup yang lebih baik dari hari kehari. Tiap personal lebih absolut untuk menilai dirinya sendiri agar lebih terbuka akan fakta-fakta hidupnya. Tak ada gunanya menutupi karena kita secara pribadilah yang akan menggunakan dan menikmati hasil pemikiran kita itu. Mungkin telah banyak yang terlintas dalam pikirannya untuk membuat skema dan rencana hidup kedepan untuk menjadi lebih maju dan berkembang. Namun lebih banyak yang lebih menerapkan prinsip mengalir apa adanya. Prinsip ini pun jelas tak dapat dikecilkan, karena meskipun skemanya tidak jelas sesungguhnya kita yang menjalankan prinsip mengalir apa adanya pun telah ada skema meski tidak tergaris teratur. Yakni telah adanya keinginan serta tujuan hidup atau bahkan target hidup meski tidak mengunci batas waktu pencapaiannya. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan sebuah hal sebagai bahan sharing dan kontemplasi untuk menjadikan hidup kita yang kita isi dengan berbagai aktifitas keseharian yang didukung modal dasar alami dalam diri kita lebih terukur, terskema dengan baik serta menemukan titik-titik yang dapat menjadi batu tolakan agar apa yang kita kerjakan memberikan andil yang berarti dalam kemajuan hidup kita dari segala sisi. Segala sisi hidup kita sebagai manusia normal dengan kebutuhan alaminya dapat kita nilai sendiri satu persatu, yang nantinya kita sendirilah yang dimerdekakan untuk membuat sebuah standar penilaian tiap komponen yang bisa dipecah dalam sub komponen, selanjutnya akumulasi penilaian indikator-indikator itu kembali secara logis dapat kita simpulkan sebuah nilai ataupun indeks sebagai acuan maju mundur ataupun stagnan-nya hidup kita secara keseluruhan. Komponen fakta dan langkah hidup ataupun indikator untuk menilai mutu hidup yang secara pribadi bebas kita jadikan acuan itu secara umum jika disesuaikan kebutuhan manusia hidup secara normal dan total menurut Saya hampir sama. Agar menjadi bahan sharing yang lengkap, komponen-komponen yang dapat kita gunakan sebagai indikator dalam rangka mengukur dan menilai mutu ataupun pencapaian dan dinamika hidup pribadi diantaranya adalah: Kesehatan, Keluarga, Karier/Nafkah, Hubungan Sosial/Kemasyarakatan, Spiritual Keempat komponen utama itu bisa dipecah kedalam sub-sub komponen lain yang menyusunnya. Tentu saja ini tidak baku, tergantung subyektifitas kita yang menentukan dan meramu manakah yang paling mengena untuk standar penilaian kita. Agar menemukan nilai kumulatif yang bisa dijadikan acuan kita, masing-masing komponen dengan pecahan-pecahan/sub-nya dapat kita beri rujukan nilai berdasar pendekatan baik yang sederhana ataupun komplek, terserah kita yang kita anggap mungkin untuk dilakukan. Bisa saja dengan standar angka ataupun huruf dengan rentang kategori masing-masing. Yang ujung hasilnya adalah sebuah nilai yang merupakan perwakilan akumulasi/komulatif yang bisa dianggap sebagai sebuah kesimpulan standar mana yang telah kita capai/alami dalam hal mutu hidup yang telah kita lewati. Yakni pencapaian ataupun perbandingan maju mundurnya mutu hidup kita jika dibandingkan dengan awal mula/pencapaian/kondisi awal yang menjadi dasar sebelum kita interospeksi diri dimaksud. Agar lebih mudah dan sederhana, mungkin Saya berikan contoh demikian: Misalkan seorang sahabat kita, sebut saja namanya Raden Mas Kurangsego berkeinginan meninjau kembali hidupnya. Standar pendekatan penilaian yang ia pakai adalah seperti yang dipakai almamaternya dalam menentukan Indeks Prestasi Komulatif (IPK)-nya selama masa kuliah, yang kurang lebih demikian: Nilai A        : Standar angkanya 90-100, atau baik sekali Nilai B         : Standar angkanya 70 - 80, atau baik Nilai C         : Standar angkanya 50-70,  atau cukup Nilai D         : Standar angkanya 10-40, atau buruk Nilai E         : Standar angkanya 0, atau buruk sekali Dengan titik tolak perjalanan hidupnya sampai sejauh ini yang dijadikan titik awal apa yang sebelumnya ia capai dan jalani adalah sebagai berikut: 1. Komponen Kesehatan, indikator miliknya antara lain: a. Hasil Chek up kesehatannya lumayan baik, dalam arti tidak ada penyakit serius, dia beri nilai : B (70) b. Umurnya saat ini 35 tahun, dalam arti secara fisik tubuhnya masih fit, dia beri nilai : B (80) c. Tidak merokok, dia beri nilai :B (80) d. Rajin berolah raga, dia beri nilai : B (80) 2. Komponen Keluarga a. Hubungan dengan Istrinya agak-agak terganggu, terakhir-terakhir bertengkar hebat, dia beri nilai : D (10) b. Anaknya tercatat sebagai anak yang bengal dan selalu nakal di sekolah, dia  beri nilai : D (10) c. Hubungan dengan orang tua, mertua, dan saudara-saudara yang lain agak renggang, dia beri nilai : D (10) 3.  Komponen Karier/Nafkah a. Produktifitas kerjanya menurun, dia beri nilai : E (0) b. Sudah bekerja bertahun-tahun belum mendapatkan promosi/kenaikan gaji, dia beri nilai :E (0) c. Gajinya kalah besar dengan sang istri, dia beri nilai : D (10) 4. Komponen Hubungan Sosial/kemasyarakatan a. Sering cekcok dengan tetangga sebelah, dia beri nilai : E (0) b. Dengan keseluruhan warga satu RT, jarang komunikasi/terlibat kegiatan, dia beri nilai :D (10) c. Di dunia maya/forum di internet lebih sering ribut, debat kusir, dan memprovokasi, diberi nilai :E (0) 5. Komponen Spiritual a. Sudah lama tidak menjalankan ritual Ibadah, dia beri nilai : E (0) b. Mulai tidak percaya pada Tuhan, dia beri nilai :D (10) c. Lebih sering menjelekkan keyakinan orang lain, dia beri nilai :E (0) Secara sederhana, titik tolak mutu hidup yang dinilai sendiri sejara jujur oleh orang dalam contoh ini dapat di kalkulasikan sebagai berikut: Nilai yang ia peroleh dari komponen-komponen pembentuk hidupnya adalah : 70+80+80+80+10+10+10+0+0+10+0+10+0+0+10+0 =380 Indikator pembagi = 16 Indeks Kumulatif = 380/16 = 23,75 termasuk dalam kategori D, yaitu buruk. Sehingga dari penilaian sederhana dirinya sendiri Raden Mas Kurangsego menyadari bahwa secara utuh mutu hidupnya selama ini dengan capaian komponen-komponen yang menjadi indikator penilaiannya adalah BURUK. Sehingga hasil introspeksinya bisa digunakan untuk mengevaluasi rencana hidupnya ke depan agar menjadi lebih baik. Contoh di atas tentu saja dapat kita terapkan untuk diri kita sendiri. Di posisi manakah saat ini kita berada terkait mutu hidup kita? Jika kita jujur menilai diri sendiri, apapun hasil kesimpulan yang kita peroleh dapat dijadikan titik awal perubahan yang terus berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah mencapai kehidupan yang lebih baik dan berbahagia serta berarti. Lalu per kapan kah periode yang akan kita gunakan untuk mengevaluasi diri? tentu saja tak ada batasan waktu khusus, semua baik. Apalagi secara logis, sebuah evaluasi akan lebih baik jika dilakukan setiap periode yang lebih pendek agar hasilnya sempurna. Yang mungkin ideal dan wajar dilakukan adalah evaluasi diri setiap hari, saat bangun tidur ataupun tengah malam menjelang tidur mungkin menjadi saat yang bagus untuk meninjau dan merekap pencapaian-pencapaian hidup kita, baik kemajuan ataupun kemunduran. Hasilnya kita gunakan untuk menjalani hidup yang lebih baik dan selalu lebih baik dari hari sebelumnya. Tentu saja apa yang saya usulkan adalah sekedar konsep dasar, yang saya yakin rekan-rekan kompasianer lebih mampu meramu dan mengembangkan metode sendiri yang dirasa mengena untuk sebuah tranformasi menuju kebaikan dan kebahagiaan hidup. Dan jangan lupa untuk berserah dan memohon agar Sang Pencipta selalu membimbing hidup kita. Selamat melangkah dan menjalani hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun