Sebuah petang yang hujan. Aku masih dalam perjalanan, pulang kandang. Begitu derasnya hujan, hingga sangat menghalangi pandangku pada jalanan. Dari balik kaca mobil tua-ku. Gelap, gelap sekali. Pekat, pekat sekali. Belum lagi angin yang membadai menghempas seolah ingin menerbangkan semua. Guyuran deras makin membuat suasana ngeri mencekam. Sepanjang perjalanan, mungkin speednya hanya bisa 20 km/jam, aku selalu deg-degan. Ini jalan tol, namun jarak pandang mungkin hanya tiga meteran. Belum lagi cahaya lampu yang mulai temaram. [caption id="attachment_142368" align="aligncenter" width="200" caption="from google"][/caption] Sebenarnya ingin sekali menepi, tapi rasanya nanggung sekali. Mending tetap jalan pelan-pelan. Meski rasa kebelet ingin berkemih dan kebelet kencing selalu membayang. Dingin. Brrr...membuatku agak gigil. Mungkin sekitar satu kilo lagi, pintu tol sudah menanti. Aku ingin cepat sampai, mandi air hangat. Lalu menyeruput kopi nikmat, duduk di teras menikmati suasana hujan. Bercengkerama dengan istri dan anak-anak. Ah, pasti hangat. Tapi apa daya. Jarak yang tinggal dekat menjadi terasa lama. Jalan tol pun menjadi penuh hambatan. Air hujan yang deras membuat luapan, yang membuat kerja keras putaran ban. Lambat. Hingga sesuatu yang mengerikan terjadi. Kilat besar menyambar udara. JEGAAARRRR!...dentuman petir dan halilintar. Sesaat udara terang benderang, sedetik jantung berkelojotan. Kaget dan debar bukan kepalang. Aku masih reflek mengucap", Tuhan, lindungi kami....". Dan hujan belum juga berkurang. Masih deras, dan angin badai menghadang. Petir dan halilintar masih terus menyambar-nyambar. Perjalananku menjadi seperti lakon dalam film "twister". Bedanya, hanya badai angin dan hujan. Di jalanku lebih banyak petir yang menari. Menggetarkan mengagetkan. Aku masih komat-kamit", Tuhan, lindungilah kami". "Tuhan, lindungilah aku". ...."Jauhkan aku dari guntur itu". ....."Tuhan, aku takut". Ditengah deras badai dan komat-kamitku. Kembali petir dahsyat hadir. Kilatnya....astagaaa!!..menyambar persis mobil yang kusetir. Bersamaan dengan bunyi halilintar menggelegar. Clappphh....sret....JEGERRRR!!!!!. Huaah!!!, sungguh kagetnya bukan kepalang. "Tuhan lindungi aku, tolong aku". Tapi...clapph lagi..srett...JEGERRR lagi..! Menyambar lagi. " AH...KAMPRET!!!....GLEDEK...KUTU...KUPREETTT!" umpatku. Dan ...klilappp.....JEGERR....! lagi dan lagi. Menyambar lagi. Jantungku marah melompat-lompat. " HIYAAAHHH! GUANDRIKKKK...!!! ...AKU PUTUNE KI AGENG SELOOOO!!!!!"Â (*) Tak lama hujan pun reda. Petir tiada. Mobil dan tubuhku tak kurang suatu apa. "Ah, terima kasih Tuhan. Kau tetap lindungi aku. Meski tak sopan pada-MU". [caption id="attachment_142367" align="aligncenter" width="300" caption="from google"][/caption] . . C.S. (*) ada cerita leluhur/dongeng, bahwa dahulu kala, KI AGENG SELO pernah menangkap petir. Petir diikat di sebatang rumput "gandrik". Petir dibebaskan ketika berjanji tidak akan mengganggu keturunan Ki Ageng Selo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H