Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asmara Bidadari Kereta Sore

16 November 2011   04:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:36 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

.

*** ASMARA BIDADARI KERETA SORE ***

_______________________________

. . [caption id="attachment_142528" align="aligncenter" width="215" caption="Illustrate from google"][/caption] Sore hari. Masih separuh berkas yang belum kutandatangani. Namun jam kerja telah usai hari ini. Aku harus bergegas, akan menghadiri kuliah sore ini. Menuju Depok, menambah ilmu. Agar gelar Master segera dapat aku genggam. Ini sudah lama kuidamkan. " Ly, tolong simpan dulu berkas-berkas ini. Besok aku teken!" " Iya Pak". Ely, sekretarisku yang manis, tanpa banyak bicara menerima berkas-berkas dariku dan menyimpannya dengan rapi. " Pak Joel mau langsung berangkat kuliah?" tanya Ely sambil sungging senyum manis. Sopan tanpa godaan. " Iya nih Ly, keburu telat nanti". " Perlu saya panggilkan Pak Ujang Pak?". Yang dimaksudkan oleh Ely adalah sopir kantorku. " He'eh, biar aku diantar sampai stasiun saja. Aku mau naik kereta". "Baik Pak". . .------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Stasiun Bogor-ku ternyata sudah mulai ramai, meski tidak penuh sesak. Memang cukup banyak orang yang berkantor di Bogor namun tinggal di Jakarta, atau paling tidak rumahnya ada di daerah Depok. Yang jelas ramai nanti adalah warga Bogor yang bekerja di Jakarta. Aku yakin setengah jam lagi mereka berbondong-bondong keluar dari kereta. Pulang. Kupikir karena aku menuju arah yang melawan. Arah ke Depok seharusnya tidak terlalu padat, karena stasiun Bogor ini adalah stasiun akhir. Namun nyatanya, aku tidak kebagian tempat duduk. Tetap berdiri bergelantungan, meski tidak terlalu empet-empetan. Kereta mulai berangkat. Mula-mula pelan, lalu terus menambah kecepatan. Didepanku, baru kusadar, ternyata sosok tubuh yang mengenakkan. Jelas saja seorang perempuan. Tinggi badannya sedang saja, body oke, montok dan menggairahkan. Kulitnya putih mulus menantang. Rambutnya sebahu, lurus menjuntai. Terkadang lembarannya mengusapku lembut, saat angin dari jendela kereta meniupnya. Wangi, segar ditengah-tengah himpitan. Satu hal yang sangat menarik kelelakianku. Wanita ini mengenakan celana jeans ketat dan berkaus model cekak. Mungkin ini yang di sebut tangtop. Ah, aku tak tahu cara menuliskannya dengan benar. Yang jelas modelnya lekat dan pendek. Sampai sampai bagian atas pantatnya terlihat. Hm...kulit atas pantatnya mulus, dan nikmat dilihat. Celana dalamnya putih, ada sedikit renda. Makin menggoda. Kereta berjalan tak berketentuan. Kadang cepat kadang lambat.  Rem-nya kadang mengejutkan, membuat kami yang dijatah berdiri, bergoyang tak karuan. Seperti saat ini. Kereta berkedut serampangan. Si Dia rebah menempel ke badanku. Amboi rejeki nomplok. Tubuh lembut wanginya, rapat di pelukku. Aku berusaha renggang, tapi dia tetap tak beranjak. Memang sekilas tak terlihat, adegan yang wajar dan tidak terelakkan.Pinggul lembutnya, bertemu ujung depanku. Belum lagi nyamannya tubuh sintal yang rebah ke dadaku. Ah. Enak sih enak, nikmat sih nikmat. Tapi bisa berabe. "Adik" bungsuku mulai terusik untuk tegak. Bisa membuatku malu jika terlihat. Mungkin karena milikku, sedikit lebih dari standar. Tonjolannya pasti mudah terlihat, jika "dia" mendapatkan rangsangan, meski hanya sesaat. Aku coba mengatur jarak, mundur agak ke belakang, meski sulit karena saking padat. Astaga! perempuan ini malah makin lekat. Gerakannya hebat, sekilas tak terlihat. Dia enggan renggang meski aku mundur ke belakang. Dalam hati aku membatin. "Kalau seperti ini, siapa yang melecehkan?" Pusing juga aku mencari akal. Sedangkan "adik"ku mulai bereaksi pelan. Ah, sepertinya, aku harus membuat kejutan. Hanya ada pena tinta di kantung kemeja. Ini akan menjadi sarana, agar dia mau menahan rasa. Entah rasa apa. Ku ambil dan ku buka penaku. Ujung runcingnya masih terlihat tinta hitam yang pekat. Ku sentuhkan padanya, tepat di atas pinggulnya yang padat. Menitikkan tinta hitam, yang sedikit melebar, di celana dalamnya yang putih berenda. " Aduhh...", Dia memekik pelan. Saat merasakan tusukan. Wajahnya berpaling ke belakang. Menatapku lekat, dengan senyum manis nan padat. Aduhai, cantik nian. Bak Rosamun Kwan hadir di hadapan. " Sore Om, maaf ya....aku memenuhi tempatmu". Ah, dia tak marah. Menyapa dengan manjanya. Aku terpana. " Ah..nggak papa Dik, namanya juga di kereta". Ku tampilkan senyumku juga. Yang paling manis kurasa. " Eh...Om.., ada bangku kosong tuh! Yuk...kita ke sana". Benar juga matanya. Ada bangku kosong yang tersedia. Mungkin ada yang turun di stasiun sebelumnya. Kami bergegas, sebelum bangku itu keduluan ada yang merampas. Lega, akhirnya kaki ini selamat dari pegal juga. Apalagi, teman dudukku seksi nian tiada terkira. Kereta terus beranjak pelan, kami pun mulai buka suara. Memecah kekakuan. Entah apa yang kami rasa, mungkin keliaran sisi hati, manusia-manusia yang kadang terlena. Entah siapa yang terlena, aku ataukah dia. Kami baru setengah jam saling hadir dan menyapa. " Mau kemana Dik? sore-sore begini". " Ke Jakarta Om, kerja......eh kenalin Om, aku Dina". Dia sodorkan jabat tangan. Kusambut dengan senang. Tangannya halus dan lembut. Hangat dan resap, seperti tissue lembut yang harganya lumayan. " Aku Joel". " Ke Jakarta juga Om? Pulang kerja?" " Oh...nggak. Aku nanti turun di Depok. Kuliah sore". " Wah....hebat. Pasti ngambil S-2..yaa..". Senyumnya merekah lagi. Halus, menggoda. Meski tak kentara. " Ah...pasti karena aku terlihat tua ya, tak pantas kalau masih nyari gelar Sarjana?" " Nggak juga..., Om Joel pastinya memang nggak muda. Tapi ...suerr, masih terlihat muda kok...he..he". " Bisa aja kamu Din....eh kerja apa?..kalau boleh tahu sih". Kami mulai akrab dan renyah. " Di Cafe...Om". " Ooo..ya..ya.., ..nggak apa. Yang penting jaga kesehatan, jangan banyak begadang". " Hmm... Om pengertian banget. Makasih Om. Tapi susah Om, Dina sering kurang tidur". " Ya...usahakan tidur lah kalau sempat". " Biasanya juga, aku tidur di kereta kok..." " Oh...maaf, ya udah. Silahkan tidur deh kalau gitu. Sorry, aku tak tahu, kau butuh ngaso". " Hmmm...hoahmm..". Dina menguap lembut. Sayu. " Om..., aku nyandar di dadamu ya...bentaaar aja...biar pules". Dia kedipkan mata. Senyumnya manis, sayu, menggoda. Astaga. " Em..eh..ehm". Aku belum bilang iya. Tapi gadis ini sudah merebahkan tubuh lembut wanginya. Di dada. Kuatur debaran di dada. Ah, nanggung. Kupeluk saja saja tubuh sekalnya. Dia tak menolak. Hanya mendesah manja. Kami mesra, layaknya sepasang kekasih adanya. Mungkin tak ada yang sangka. Kereta kembali merambat. Seiring gairah yang mulai liar mencuat. Dina bukannya tertidur lelap. Matanya malah sayu menatap. " Om....besok sore naik kereta lagi kan?" " Iya,..memang ada apa?" " Kurang nikmat jika hanya tidur di kereta Om". " Maksudmu?" " Mungkin besok Om bisa bolos kuliah saja, aku pun bisa bolos kerja". " Hmm...lalu?" " Kita bisa "tidur" di tempat yang lebih nyaman. Entah di hotel ataupun di Wisma. Terserah Om Joel saja". " Hmmm......, begitu...ehm". Aku terdiam, antara godaan dan ragu mempertimbangkan. " Hihi...Om bingung ya?...Dina ngerti kok, Om nggak harus jawab sekarang. Yang jelas, aku tak akan minta bayaran." "Engg...kamu ini...,Tunggu, Din...kamu bukan...?" " Aku bukan pelacur Om,...aku lakukan, apa yang aku suka. Itu saja." " Hm...., kau pikir juga aku Om-om nakal gitu?" " Oh..maaf Om, sama sekali tidak. Karena itu aku suka Om. Aku pun tak kan memaksa". " Begitu?....aku belum bisa putuskan sekarang Din". Terus terang, aku bimbang. Godaan ini begitu renyah menyapa. Tanpa satupun tembok yang menjadi penghalangnya. Dia suka, aku suka, ya sudah...jangan bilang siapa-siapa. Ah, itu kalau aku mau nekat saja. Mendingan aku timbang, besok baru aku putuskan. Melepaskan atau menggeluti nikmatnya, meski sesaat. Aku yakin bakal ketagihan atau mungkin menjadi bosan. Tapi bukankah ini tanpa beban? " Tak apa Om. Dina ngerti kok. Besok, kalau kita bertemu lagi, Om tinggal "mengangguk" atau "menggeleng". Karena aku, tak mau rendahkan diri, merayumu lagi. Okay Om". Dia lugas, dan tersenyum tawar. Meski tetap manis. " Okay.Kita lihat saja besok..". Jawabku datar. Depok lebih dulu sampai. Aku mengakhiri pelukan Dina. Kami berpisah, dengan senyum dan lambaian tangan penuh tanya. Entah besok akan menjadi apa. ------------------------------------------------------------------------------------------- Sore selanjutnya, aku kembali bergairah naik kereta. Ada sesuatu yang harus kuputuskan, jika sore ini bertemu dengan Dina, si bidadari kereta. Karena sedari malam, pagi, hingga siang, wajah dan tubuhnya, yang bak Rosamund Kwan terus membayang. Menari dan menggoda, gairah nan memabukkan dari senyum. Dan juga tawaran nikmatnya. Seperti kemarin. Aku tidak dapatkan bangku juga. Berhimpit, berdiri dengan yang lainnya. Saat debar jantung penuh harap. Bertemu kembali dengan si Dia. Pucuk di cinta gairah pun tiba. Seperti ulangan hari yang lalu. Bidadari ini, berdiri tepat di depanku. Dengan busana ciri khasnya, namun kali ini berbeda warna. Jeans ketat, bongkahan tubuh padat. Juga kausnya yang lekat. Pemandangan kulit di atas pinggulnya juga masih memikat. Namun, celana dalam itu masih kuingat. Membuatku semakin bersemangat untuk memutuskan sebuah kata sepakat, antara mengangguk atau menggeleng. Gadis ini rupanya menyadari kehadiranku. Wajah Rosamund-nya berpaling ke arahku. Tersenyum manis dan berdesah pelan. " Gimana, Om?" Seperti kesepakatan lalu. Aku tak berucap kata. Hanya dengan gerakan mantap dan pasti. Aku MENGGELENG-kan kepala. Dengan tulus senyuman dan hati. "Maaf, Din...aku tak bisa". Perempuan ini tak menampakkan raut kecewa. Senyumnya tetap mengambang. Meski kereta tetap berjalan tak beraturan, Dina tak seperti sore kemarin. Gerak tubuhnya sopan merenggang, tak satupun usahanya menggoda. Kami berdua berdiam diri saja. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kali ini kereta semakin sesak, tak ada lagi bangku tersisa. Semua terampas oleh penumpang lainnya. Mungkin juga, karena kami telah tak bergairah untuk memperebutkannya. Seperti biasa. Depok lebih dahulu menyapa. Lambaian tangan kami wajar adanya. Tanpa penasaran, tanpa kebimbangan. Dan juga tanpa deru godaan penasaran. Aku yakin wanita ini telah mengerti sebuah alasan, gelengan kepalaku yang kuajukan sebagai jawaban. Aku punya kehidupan tenteram. Karier, pun juga anak isteri di kampung halaman. Semua tetap hangat, tak ada kesepian. Satu lagi yang seharusnya bidadari ini mengerti dan sadari. Aku tak suka, secantik apapun wanita, jika dia menyepelekan hal kecil namun berarti. Paling tidak, dia harus mengganti celana dalamnya. Paling tidak setiap hari. Dina mungkin tak menyangka, masih ada setitik tinta pena-ku, di celana dalam putihnya yang berenda. Sore ini, kembali dikenakannya. .

***

[caption id="attachment_142530" align="aligncenter" width="455" caption="Illustrate from google"][/caption] . . C.S. ( Fiksi ini kutulis dini hari tadi. Kulemparkan pagi ini. Sambil mengenang riuh rendah pejalan kaki, yang turun dari kereta, melintasi jalan Nyi Raja Permas. Di Bogor, kota yang tidak sesejuk dulu lagi.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun