[caption id="attachment_138310" align="aligncenter" width="300" caption="from google"][/caption] Pria kok nangis? cengeng! Sering kita mendengar hardikan seperti ini. Tak sepenuhnya benar, juga tak sepenuhnya salah. Laki-laki memang diharapkan menjadi sosok yang tegar dan melindungi. Mungkin kecenderungan lebih berolah akal dan logika melebihi penggunaan rasa (perasaan) membuat sebagian besar laki-laki lebih mampu menahan diri untuk tidak menangis. Tidak demikian dengan perempuan. Kecenderungan larut dalam rasa (perasaan) membuatnya lebih mudah menangis. Sebab musabab menangis seringkali adalah adanya sesuatu yang dialami, dilihat ataupun dirasakan. Rasa sedih lebih dominan untuk menjadi pemicu utama terlepasnya tangisan. Disamping rasa bahagia yang kadang-kadang mampu pula untuk meluncurkan tangis dan tetes air mata. Menangis, yang secara sederhana katakanlah ungkapan rasa yang disertai tetesan air mata. Secara kasat mata terlihat. Saya bukan membahas menangis yang tidak kasat mata (menangis dalam hati). Saya bicara tentang tangisan yang nyata. Oke. Menangis adalah hal yang manusiawi. Masalah sekarang adalah subyek yang menangis tersebut adalah laki-laki. Jika perempuan, mudah tersentuh rasanya dan menangis, itu hal yang mudah diterima. Karena perempuan identik dengan air mata. Malahan banyak pendapat mengatakan bahwa air mata itu adalah senjata ampuh wanita. Siapa sih laki-laki yang tidak terusik dengan tangisan wanita, apalagi wanita yang dicintainya? apapun respon yang diberikan, pengaruh tangis itu akan berdampak besar. Silahkan wanita protes dengan klaim ini. Mungkin klaimnya hanya mengatakan ", tidak semua wanita demikian". Ya, udah. Setuju saja. Bagi laki-laki, tangisan adalah sebuah hal yang selalu sekuat mungkin dicegah ledakannya. Maka itu sangat jarang ditemui laki-laki yang menangis. Memang jika terjadi cenderung memalukan. Tapi, apa daya. Meski ditahan sekuat tenaga, tak jarang laki-laki pun akhirnya bisa "mewek" juga. Meski hanya untuk peristiwa-peristiwa besar yang mampu menjebol pertahanannya. Waktu kecil. Saya memang sering menangis. Terasa ringan saat menangis. Penyebabnya macam-macam. Bisa sakit fisik atau sakit hati. Dulu, saya kecil pernah menangis karena jatuh dari becak. Dengkul Saya sakit minta ampun dan pengungkapannya dengan menangis meraung-raung. Juga ketika Ibu Saya tidak mampu membelikan mobil-mobilan bagus yang Saya suka. Menangis dan merengek tentu saja. Namun seiring waktu dan "kedewasaan" umur, laki-laki menjadi "terlupa" bagaimana cara menangis. Karena secara "kodrat", tempaan untuk eksis dan bertanggung jawab membuat para pria cenderung mengedepankan olah akal dan logika, sedikit rasa. Sedikit rasa (perasaan ) tersebut cenderung lari ke dalam kemarahan ataupun umpatan kejengkelan bahkan bisa menjadi tindakan kekasaran. Namun dalam tahap "goncangan" rasa yang sedemikan besar tak tertahankan, tentu saja dapat ditemui juga keluarnya tangisan laki-laki. Saya sendiri. Laki-laki. Setelah era dan umur yang mulai terbungkus sebuah eksistensi tanggung jawab, dan juga keinginan menjadi "juara", sempat sangat tersiksa karena terlupa cara menangis. Meski goncangan itu sungguh besar. Masih teringat, periode sebelum ini Saya sudah 2 (dua) kali menangis, meski tersiksa karena terlupa caranya. Dan penyebab kedua tangisan Saya itu adalah sebuah goncangan rasa. Rasa sedih karena kehilangan dan kenangan. Yang pertama kali, Saya menangis saat ayah mertua Saya meninggal dunia. Kenapa Saya menangis? Bukankah "hanya" mertua yang meninggal? Memang ia hanya seorang ayah mertua bagi Saya. Bahkan saat meninggalnya pun, statusnya barulah "calon mertua". Saya meraung menangisinya karena betul-betul sangat kehilangan. Mengingat ikatan riwayat kami yang sudah menempel tak terungkap secara sederhana. Saya sungguh menyayanginya, karena ia betul-betul menjadi sosok ayah kedua bagi Saya. Masih kuingat saat pertama berkunjung ke rumahnya. Menemui putri tersayangnya. Saya yang waktu itu bisa dibilang "belumlah menjadi siapa-siapa" dalam hidup (masih berjuang keras penuh jatuh bangun), akan menyangka dia bakal memandang sebelah mata. Sebetulnya waktu itu Saya modal nekat (dan modal cinta tentu saja...), dan siap jika dipandang rendah dan remeh. Namun ternyata tidak demikian. Dia menyambutku dengan hangat dan penuh kasih. Seperti menyambut anaknya yang kesekian. Restu dan pesan begitu mudah dan membekas kudapatkan. Seiring hubungan kasihku dengan putrinya yang berjalan penuh dinamika, ia selalu menyertai dan menuntun. Hingga saat waktunya ia dipanggil Tuhan, karena usia dan penyakitnya. Tentu saja saya menggelegak dan meraung dalam tangis. Kehilangan dan tentu saja, menyesal karena saya belum tiba waktunya, menunjukkan bahwa Saya mampu membuktikan niat untuk membahagiakan putrinya. Tangisan saya yang kedua adalah saat kematian ayah kandung saya. Yang ini tentu saja tak perlu banyak bercerita. Tentu saja karena kehilangan dan mengingat segala kenangan dan hutang-hutangku padanya. Sampai saat peti mati mereka harus ditutup. Semua tangisan itu sungguh menyesakkan prosesnya. Sulit sekali ku tahan. Ada rasa menggumpal di dada, mencekik leher dan harus dilepaskan. Dan meledaklah tangisan yang mungkin aneh terdengar, dari seorang lelaki dewasa. Karena terlupa caranya. Itulah makanya. Karena sudah mengalami sendiri. Saya tak akan takabur mengatakan bahwa lelaki menangis adalah cengeng. Karena itu bisa menimpa siapa saja. Namun jika sedikit goncangan sudah menangis, dan sering menangis. Saya setuju jika itu dikatakan cengeng, karena olah akal dan logikanya lebih sering ditutupi rasa. Seperti wanita.Lelaki menangis? Bisa. Menangislah jika harus menangis, karena kita semua.... manusia biasa. Bagaimana menurut anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H