Kebablasan. Itu mungkin salah satu kata yang tepat untuk menggambarkan penilaian terhadap suatu fenomena perpolitikan negeri kita saat ini. Yaitu tentang koalisi partai politik, yang dalam arah lain pun bisa menjadi oposisi. Setahu saya dan dari logika kebenaran (nurani) berpolitik itu sendiri yang seharusnya semata-mata adalah mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan, maka jangankan kehendak untuk “mengabadikan” suatu koalisi, menyatakan suatu “persekutuan” politik dengan sebutan itu pun sepatutnya adalah sebuah “pantangan”.
Sayangnya, sejauh pengamatan, setelah pada masa-masa sebelumnya partai-partai politik masih memiliki kesan “malu-malu” menyatakan itu dengan beretorika bahwa demokrasi negeri ini tak mengenal istilah koalisi ataupun oposisi, kini, tanpa basa basi lagi terlihat “pantangan” itu menjadi “dolanan”. Kalau benar dengan lantang dan entengnya ada capres yang terang-terangan menegaskan akan membentuk koalisi parpol secara “permanen”, baik ketika nanti menang ataupun kalah setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pilpresnya secara resmi.
Tentunya, kilah-kilah akan segera terlontar jika kejujuran tentang hal ini dipertanyakan. Demi menggalang kekuatan jika berkuasa? Ataukah menggoyang pemerintahan jika kalah/tidak berkuasa? Demi rakyat, pasti ke arah itu jawabannya, sebab kalimat itu paling terlihat manis dan pertama terlintas dibibir. Bahkan bisa dikatakan saat belum terpikirkan pun mulut sudah otomatis bergerak mengucapkan. Sudah terbiasa dan terlatih, mungkin demikian.
Demi rakyat! Kepentingan rakyat! Ah, tobat! Jika memang itu demi rakyat dinyatakan terbentuknya sebuah koalisi parpol abadi, akan sejauh mana lagi hati nurani itu diingkari? Bahkan jika tak salah menilai, dalam salah satu syarat pengajuan calon presiden pun undang-undang begitu “tabu” dengan istilah “koalisi” parpol, yang termaktub adalah “gabungan” parpol. Secara substansi bisa dimuliakan salah satu tujuannya adalah agar gabungan parpol itu tak melulu dan harus “bablas” menjadi koalisi ataupun oposisi saat pemerintahan terbentuk nantinya. Haruskah menjadi koalisi ketika capresnya menang dan menjadi oposisi kala capresnya tidak terpilih?
Yang dianggap biasa terjadi tak selalu adalah sebuah kebenaran. Ketika mulai terbiasa dengan gaya koalisi parpol, suatu kondisi di mana koalisi itu menjadi seolah terlegitimasi, maka terjadilah “kebablasan” politik negeri ini. Bagaimana mungkin sebuah koalisi parpol akan mendahulukan kepentingan rakyat ketika di dalamnya berisi kontrak-kontrak politik yang tak jauh dari nuansa bagi-bagi? Kekuatan yang digalang nantinya sekali lagi cenderung demi kekuasaan. Koalisi demi lancar jayanya agenda meski bukan demi kepentingan rakyat dan jika oposisi pun demi tujuan melemahkan program pemerintah meskipun itu demi rakyat (yang penting berseberangan).
Kita tentu berharap dan bersyukur pesta demokrasi ini berlangsung lancar dan aman sampai usai nanti. Namun harus diakui pula gejala-gejala mundurnya substansi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat itu sendiri. Ketika gabungan parpol terpaku menjadi koalisi parpol, bahkan terpenjara dalam kontrak-kontrak politik baik demi kekuatan ataupun menggoyang kekuasaan, apalagi mendeklarasikannya sebagai sesuatu yang sakral dan suci, Bukankah amanat rakyat itu justru diingkari dan menjadi “dosa” politik itu sendiri? Lalu, akan sampai kapan kepentingan rakyat dikebiri? Tentu saja sampai “koalisi sejati” yang “sakral dan suci” itu benar-benar terpatri. Berkoalisilah yang sesungguh-sungguhnya dengan rakyat, tanpa syarat!
.
.
C.S.
Eling…!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H