Mohon tunggu...
Chris Surinono
Chris Surinono Mohon Tunggu... -

Pencari dan terus menjadi pencari....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hoaks: Seni Provokasi dan 3 Cara Melawan

31 Maret 2019   16:33 Diperbarui: 31 Maret 2019   16:43 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri kita tercinta ini, hoaks sudah bukan sekedar menipu, berita bohong semata. Tapi sudah jadi seni provokasi, menakut-nakuti, bahkan membulli pihak lain. Jadi alat meraih kekuasaan. Ahh miris!

Ada survei ilmiah dari salah satu lembaga Universitas di Amerika Serikat tentang motivasi menipu. Kalau di AS ada 22% menipu untuk menutupi kesalahan atau tindakkan yang keliru. 16% bermaksud mendapatkan keuntungan ekonomi, dan 15% sekedar iseng, sedangkan di Indoensia? Untuk bisa meraih simpati demi kekuasaan, sehingga konten terbanyak terkait politik.

Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis data demikian: Agustus 2018 jumlah berita bohong yang tersebar di dunia maya berjumlah 25 buah. Jumlah ini terus meningkat, 27 hoaks di September, 53 di Oktober, 63 di November, dan 75 di Desember. Namun memasuki tahun 2019, jumlah hoaks melonjak menjadi 175 di Januari 2019 dan 353 buah di bulan berikutnya.

Hati-hati, rasa-mu sedang diobok-obok!

Mengapa hoaks menguasai jagat raya kita? Karena mereka berhasil memporakporandakan perasaan. Hati-hati aspek rasa diri kita sedang diobok-obok. Mereka bermain di aspek perasaan ini. Karena bermain di tingkat rasa saja, maka tidak heran, hoaks menjadi lebih dipercaya daripada berita benar. Hanya satu alasan: karena para peniup pesan hoaks itu tahu katakan apa yang ingin dan mau didengar oleh orang kebanyakan; sedangkan berita benar selalu rumit, berwajah banyak, bisa diperdebatkan. Mereka seolah-olah mampu membawa kepastian ditengah ketidakpastian; kesejajaran ditengah ketimpangan hidup sosial.

Tidak heran dalam berbagai proses pemilihan yang melibatkan rakyat, orang akan bermain di level rasa ini. Apalagi dibumbui isu-isu politik identitas, agama, suku,  golongan atau status sosial. Kenapa? Karena isu-isu ini selalu bersentuhan langsung dengan rasa yang bisa membangkitkan solidaritas antar golongan, suku dan agama.

Jangan diam! Mari lawan!

Melawan itu perlu. Caranya? Pertama tentu dengan tidak menyebarkan. Ini perlu komitmen dari setiap pribadi dan pemilik media untuk tidak memberi panggung kepada penyebarnya. Tidak membiarkan perasaan para pembaca diaduk-aduk. Dua komponen utma: pembaca dan media utk stop. Artinya, hoaks bisa berhenti kalau semua bertekat untuk menhentikannya. Tidak gampang percaya.

Selain itu, diharapakan pihak berwenang dalam hal ini Kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tidak cukup hanya menyebutkan tingkat hoaks dalam masyarakat, tapi perlu memblokir situs-situsnya. Demikian juga, diharapkan agar kepolisian untuk tidak segan menangkap dan membina para pencipta dan menyebar hoaks.

Tiga langkah menangkal hoaks

Para ahli filsafat menggunakan tiga pertanyaan ini untuk merangsang alternatif berpkir. Pertanyaan ini bisa digunakan untuk menangkal maraknya hoaks. Artinya sebelum sebelum verita dibuat dan disebarkan, perlu melewati tiga langkah ini:

Pertama: Apa benar hal yang akan saya katakan ini? Kadang kita katakan sesuatu bukan berdasarkan fakta, tapi pada apa yang dobayangkan; bukan pada apa yang sesungguhnya terjadi, sedang terjadi, tapi pada apa yang dikira-kirain sedang dan akan terjadi. Lebih buruk lagi dianalisa berdasar pada hiptesis yang ia sendiri miliki. Jadi, perlu dipertanyakan pada diri: apa yang akan saya katakan adalah benar sesuai fakta (Kebenaran adalah persesuain antara fakta dan yang dikatakan)

Kedua: Apakah yang saya katakana ini baik. Baik untuk diri saya dan untu orang lain? Kalau tidak baik untuk saya dan orang lain, mengapa saya katakan? Lidah manusia lebih tajam dari pedang. Kadang kita tidak sadar bahwa ketika kita buka mulut, lebih banyak menyakitkan orang lain. Kata-kata yang keluar justru lebih menghancurkan rasa, kehendak dan pikiran orang lain. Lalu, apa sisi baiknya manfaatnya? Maka, lebih baik tutup mulut.

Ketiga: Apakah berguna apa yang saya katakan ini? Manusia akan jadi bernilai kalau ia bernilai bagi sesama. Kegunaan atas apa yang saya katakan dan perbuat adalah ketika semua itu menjadikan orang lain lebih baik, lebih bersemangat dan bangkit lagi dalam hidupnya.


Jadi, sebelum buka mulut, dan atau meyebarkan sebuah berita, ada baiknya kita lewati dulu tiga tahapan ini. Janganlah buka mulut kalau apa yang akan dikatakan itu tidak benar, tidak baik, dan tidak berguna untuk orang lain. Karena, manusia harus jadi tolak ukur dan prinsip dasar segalanya. Artinya, manusia lebih penting dari harta dan kekuasaan. Saudara lebih penting dari politik; hidup bermartabat lebih mulia daripada memiliki segala hal di bumi ini.  


Burgos, 31032019  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun