26 Juli adalah tanggal yang selalu menjadi hari spesial untuk Australia. Di tanggal tersebut adalah hari kemerdekaan Australia yang selalu identik dengan julukan negeri Kangguru tersebut.
Negara yang letaknya berada dibawah negara Indonesia dan memiliki ikon gedung opera Sydney selalu merayakan hari kemerdekaan dengan meriah, kendati di tengah suasana pandemi Covid-19, masyarakat tetap merayakan hari kemerdekaan tersebut dengan berbagai cara mulai dari upload foto dengan membentangkan bendera negeri kebanggaanya, live music hingga festival makanan yang selalu ditandai dengan banyaknya bendera Australia yang berkibar.
Namun dibalik gemerlap dan meriahnya perayaan hari kemerdekaan Australia, terdapat suatu kisah dan tragedi yang pernah menjadi sejarah kelam sepanjang negara tersebut berdiri, sebuah tragedi yang mungkin sangat memilukan dan menyedihkan dalam sejarah umat manusia.
Suku Aborigin, suku ini mungkin tidaklah terdengar asing bagi para penyintas masa sekolah tingkat menengah pertama hingga atas terutama bagi mereka yang bersekolah di jurusan ilmu pengetahuan sosial Suku Aborigin adalah suku asli dari benua Australia yang sudah hidup menetap selama ratusan hingga ribuan tahun lamanya jauh sebelum kedatangan bangsa kulit putih ke benua tersebut.
Mungkin banyak yang lupa akan fakta sejarah bahwa 100 hingga 250 tahun lamanya, terjadi suatu genosida dan pemusnahan besar-besaran terhadap suku Aborigin beserta lingkungan tempat tinggal dan kebudayaan asli mereka bukan hanya itu, generasi suku Aborigin yang tersisa dan masih hidup hingga saat ini harus mengalami pandangan dan diskriminasi rasia serta dipaksa untuk “meninggalkan” tradisi dan budaya mereka.
Sejak tahun 1790 hingga 1900-an, pembantaian dan pengusiran besar-besaran terhadap Suku Aborigin berlangsung dalam skala besar. Suku Aborigin yang mencoba melawan agresi dan invasi bangsa Britania Raya yang secara persenjataan militer jauh lebih modern dibandingkan dengan suku Aborigin yang menggunakan senjata tradisional menjadi suatu pertempuran yang tidak seimbang dan pada akhirnya menjadi suatu ladang pembantaian bagi suku Aborigin itu sendiri.
Bahkan pembantaian tersebut menyasar semua gender dari suku Aborigin tanpa pandang bulu yang dimana didalamnya termasuk pria, wanita, anak-anak hingga lansia. Selain itu bukan hanya pembantaian saja yang terjadi, pemerkosaan dan pelecehan juga menyasar terhadap kaum wanita termasuk gadis dibawah umur.Suku Aborigin yang "selamat" dari pembantaian kemudian dijadikan sebagai budak untuk tuan tanah kulit putih dan banyak pula yang dijual ke wilayah koloni Inggris lainya.
Tak heran, jika hari kemerdekaan tersebut selalu diwarnai oleh aksi demonstrasi dan protes damai yang umunya dilakukan oleh suku aborigin masa kini ataupun suku non-aborigin yang ingin mencari jawaban atas konflik dan tragedi besar yang pernah melanda negara tersebut selama ratusan tahun lamanya. Meskipun kini peristiwa genosida tidak pernah terjadi lagi, diskriminasi dan perlakuan rasialis terhadap suku dan komunitas Aborigin masih sangat terasa hingga saat ini.
Mereka yang keturunan Aborigin banyak yang mengalami kesulitan ekonomi dan harus mendapatkan pekerjaan yang mungkin dapat dikatakan tidak cukup layak dibandingkan dengan mereka yang beretnis non-aborigin selain itu mereka juga cukup “diasingkan” untuk hidup bersosialisasi dan sangat sulit untuk mendapatkan hak hidup mereka mulai dari pendidikan,kesehatan hingga tempat tinggal. Dan pada akhirnya Australia akan selalu dan selamanya dihantui oleh tragedi masa lalu tersebut dengan status mereka sebagai "Stolen Land"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H