Tribute untuk korban Serangan Paris 2015
Sumber : theguardian.com
Ketika Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengeluarkan statement yang mengatakan bahwa "Islam Itu Adalah Agama Teroris", sontak mengundang kemarahan hampir di seluruh dunia terutama bagi seluruh umat muslim di dunia. Secara serentak pula, seluruh umat Muslim di seluruh dunia terutama di negara-negara mayoritas Muslim segera melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Kedubes Prancis dan juga menyerukan boikot terhadap produk-produk Prancis.
Alasan dari keluarnya statement Macron yang memancing kemarahan umat muslim tersebut tak lain setelah kejadian pembunuhan dan pemenggalan Samuel Paty di kota Paris pada tanggal 22 Oktober 2020 yang lalu.
Samuel Paty yang merupakan seorang guru SMP dibunuh oleh pemuda berusia 18 tahun yang bernama Abdullah Anzorov yang merupakan pengungsi asal Chechnya yang menetap di Paris. Samuel Paty harus kehilangan nyawanya secara tragis setelah menunjukan kartun Nabi Muhammad milik Charlie Hebdo ketika sedang mengajar murid-muridnya di Conflans-Sainte-Honorine.
Tragedi pembunuhan dan pemenggalan Samuel Paty semakin menambah kasus terorisme yang melanda negara tersebut semenjak negara tersebut ikut serta dalam memerangi ISIS di Timur Tengah. Pada tahun 2015, Paris yang merupakan ibukota Prancis dan juga salah satu kota paling tercantik di dunia mengalami 2 peristiwa terorisme yang merenggut nyawa ratusan warga sipil Paris.
Peristiwa pertama adalah penyerangan terhadap kantor Charlie Hebdo yang merupakan kantor tabloid yang menerbitkan kartun Nabi Muhammad pada Januari 2015 yang mengakibatkan 11 karyawan dan satu polisi tewas dalam serangan tersebut.
Peristiwa kedua adalah serangan bom bunuh diri dan penembakan massal di beberapa titik di ibukota Paris yang terkenal dengan "Tragedi 13 November" dimana 137 orang tewas dalam serangan tersebut. Pada 14 Juli 2016, terjadi sebuah serangan terror dengan cara mengemudikan dan menabrakan truk ke arah kerumunan massa yang mengakibatkan 84 orang tewas.
Semua tragedi dan serangan teror tersebut dilakukan dan dilancarkan oleh ISIS yang mengaku bertanggung jawab dalam semua serangan teroris di Prancis dalam 2 tahun terakhir. ISIS yang mengatasnamakan "pejuang Islam" melakukan hal tersebut untuk membalaskan dendam mereka terhadap militer Prancis yang terus menyerang dan mendesak seluruh kekuatan ISIS di Timur Tengah.
Apa yang terjadi di Prancis kemudian menimbulkan suatu fenomena akan "Islamophobia" atau ketakutan berlebih terhadap agama Islam yang dianggap menerapkan ajaran yang berprinsip pada kekerasan dan serangan terhadap siapapun yang tidak sepaham dengan mereka. Fenomena "Islamophobia" itu sudah merebak semenjak tragedi runtuhnya World Trade Centre New York pada tanggal 11 September 2001 atau dikenal dengan tragedi 9/11 dimana belasan teroris Al Qaeda membajak dua buah pesawat dan menabrak pesawat tersebut ke dua menara World Trade Centre tersebut dimana satu pesawat lainya menabrakan diri ke Pentagon.
Kejadian yang mengakibatkan 3000 warga sipil tewas tersebut menjadi awal bangkitnya suatu ketakutan dan kecurigaan yang besar terhadap umat Muslim hingga sekarang ini. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar bahwa agama Islam yang kini dianut oleh sekitar 5 juta penduduk di seluruh dunia mengajarkan dan membenarkan semua perbuatan yang berbau tentang kekerasan dan pembunuhan? Apakah semua orang yang terlahir menjadi seorang Muslim sudah tertanam sebuah ideologi kekerasan semenjak mereka terlahir ke dunia ?
Sesungguhnya semua agama mengajarkan cinta kasih dan kebaikan. Tujuan dari pertama kali “agama” diciptakan adalah supaya mampu membimbing manusia kembali ke jalur yang benar dan mencegah mereka untuk melakukan perbuatan tercela yang menyimpang dari norma-norma kemanusiaan. Semua agama baik itu Nasrani, Islam, Hindu,Buddha, dan Konghucu mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, ketika Macron menyebutkan bahwa “Agama Islam itu adalah agama teroris”, itu adalah sebuah pernyataan yang sangatlah salah karena kejadian teroris selama ini hanyalah perbuatan oknum yang mengatasnamakan agama yang mereka anut bukan agama yang mengajarkan dan menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.
Lalu apakah Samuel Paty dan kartunis Charlie Hebdo yang beragama Nasrani tersebut yang menggambarkan dan memperlihatkan kartun bergambar Nabi Muhammad, memberi arti bahwa Umat beragama Nasrani itu adalah umat dengan agama yang suka menghina-hina agama lain yang tidak sepaham dengan mereka ?
tentu saja tidak, karena buktinya masih banyak umat Nasrani yang mengedepankan toleransi dan menghormati agama di luar mereka tanpa menghina dan menjelekan keyakinan agama yang berbeda dengan mereka tersebut, sehingga apa yang dilakukan oleh Kartunis Charlie Hebdo dan Samuel Paty tersebut hanyalah perbuatan dari suatu oknum yang ingin menghina-hina agama lain.
Diibaratkan, dalam suatu angkatan SMA ada 4 kelas studi yaitu kelas A,B,C,D, lalu dalam suatu hari, seseorang murid kelas D mencuri dompet dari 3 murid kelas A, lalu apakah itu menandakan bahwa kelas D adalah kelas yang berideologikan “Pencuri” ?, tentu saja tidak, karena yang jelas melakukan tindakan pencurian hanyalah seorang murid dari kelas D.
Sayangnya, manusia memang memiliki pola pikir untuk menyamaratakan dan menganggap semua pihak itu sama hanya karena perbuatan satu dan segelintir orang yang mewakili suatu golongan tertentu sehingga kemudian memiliki persepsi bahwa “satu golongan berideologi sama dengan ideologi segelintir oknum tersebut.”, sebuah persepsi dan pola pikir yang sangat berbahaya dan berdampak terhadap penilaian akan suatu ideologi.
Mengapa berbahaya ? Indonesia sudah merasakan sendiri pedihnya prinsip akan pola pikir tersebut dalam peristiwa sejarah. Pada tahun 1965, kita semua pasti mengetahui bahwa pada suatu malam di penghujung bulan September, belasan “oknum” PKI merencanakan dan melakukan penculikan terhadap para Jenderal Pimpinan Angkatan Darat yang berakhir pada pembantaian semua Jenderal tersebut.
Peristiwa pembunuhan dan pembantaian para Jenderal tersebut segera menimbulkan kemarahan besar masyarakat terhadap PKI. Bukan hanya pimpinan PKI dan para perencana operasi penculikan para Jenderal yang ditangkap dan kemudian dieksekusi.
Sekitar 3 juta orang pada periode tahun 1965-1966 ditangkap dan dibantai tanpa proses pengadilan hanya karena mereka dianggap sebagai “Simpastisan PKI”, beberapa diantaranya adalah tokoh-tokoh terkemuka seperti Pramoedya Ananta Toer yang harus mendekam puluhan tahun dipenjara hanya karena beliau dianggap bagian dari komunis melalui karya-karya tulisanya.
Bukan hanya itu, etnis Tionghoa yang sudah lama menetap di Indonesia dan hanya berdagang serta tidak ada sangkut pautnya dengan PKI dan berbagai kebijakanya juga menjadi korban penjarahan dan penangkapan serta diskriminasi sosial hanya karena leluhur mereka berasal dari daratan China (RRC) yang berideologikan Komunisme.
Kita semua memang mengakui bahwa PKI dengan ideologi komunisnya memang sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan Ketuhanan, akan tetapi sangat tidak adil jika 3 juta orang harus kehilangan nyawanya dan dibantai begitu saja tanpa proses pengadilan hanya karena persepsi “Satu Pohon Melambangkan Satu Hutan”
Dari semua yang terjadi di dunia ini mulai dari aksi terorisme hingga tindakan kejahatan lainya, kita perlu belajar bahwa kita tidak boleh lagi menyalahkan suatu agama dan ideologi tertentu atas semua peristiwa kejahatan yang terjadi, tetapi salahkanlah oknum dan individunya karena mereka tidak bisa melaksanakan prinsip kebaikan yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai sebuah persepsi menjadi dasar untuk mengembangkan suatu kebencian dan ketakutan di dunia ini yang sudah semakin kacau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H