Sesungguhnya semua agama mengajarkan cinta kasih dan kebaikan. Tujuan dari pertama kali “agama” diciptakan adalah supaya mampu membimbing manusia kembali ke jalur yang benar dan mencegah mereka untuk melakukan perbuatan tercela yang menyimpang dari norma-norma kemanusiaan. Semua agama baik itu Nasrani, Islam, Hindu,Buddha, dan Konghucu mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, ketika Macron menyebutkan bahwa “Agama Islam itu adalah agama teroris”, itu adalah sebuah pernyataan yang sangatlah salah karena kejadian teroris selama ini hanyalah perbuatan oknum yang mengatasnamakan agama yang mereka anut bukan agama yang mengajarkan dan menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.
Lalu apakah Samuel Paty dan kartunis Charlie Hebdo yang beragama Nasrani tersebut yang menggambarkan dan memperlihatkan kartun bergambar Nabi Muhammad, memberi arti bahwa Umat beragama Nasrani itu adalah umat dengan agama yang suka menghina-hina agama lain yang tidak sepaham dengan mereka ?
tentu saja tidak, karena buktinya masih banyak umat Nasrani yang mengedepankan toleransi dan menghormati agama di luar mereka tanpa menghina dan menjelekan keyakinan agama yang berbeda dengan mereka tersebut, sehingga apa yang dilakukan oleh Kartunis Charlie Hebdo dan Samuel Paty tersebut hanyalah perbuatan dari suatu oknum yang ingin menghina-hina agama lain.
Diibaratkan, dalam suatu angkatan SMA ada 4 kelas studi yaitu kelas A,B,C,D, lalu dalam suatu hari, seseorang murid kelas D mencuri dompet dari 3 murid kelas A, lalu apakah itu menandakan bahwa kelas D adalah kelas yang berideologikan “Pencuri” ?, tentu saja tidak, karena yang jelas melakukan tindakan pencurian hanyalah seorang murid dari kelas D.
Sayangnya, manusia memang memiliki pola pikir untuk menyamaratakan dan menganggap semua pihak itu sama hanya karena perbuatan satu dan segelintir orang yang mewakili suatu golongan tertentu sehingga kemudian memiliki persepsi bahwa “satu golongan berideologi sama dengan ideologi segelintir oknum tersebut.”, sebuah persepsi dan pola pikir yang sangat berbahaya dan berdampak terhadap penilaian akan suatu ideologi.
Mengapa berbahaya ? Indonesia sudah merasakan sendiri pedihnya prinsip akan pola pikir tersebut dalam peristiwa sejarah. Pada tahun 1965, kita semua pasti mengetahui bahwa pada suatu malam di penghujung bulan September, belasan “oknum” PKI merencanakan dan melakukan penculikan terhadap para Jenderal Pimpinan Angkatan Darat yang berakhir pada pembantaian semua Jenderal tersebut.
Peristiwa pembunuhan dan pembantaian para Jenderal tersebut segera menimbulkan kemarahan besar masyarakat terhadap PKI. Bukan hanya pimpinan PKI dan para perencana operasi penculikan para Jenderal yang ditangkap dan kemudian dieksekusi.
Sekitar 3 juta orang pada periode tahun 1965-1966 ditangkap dan dibantai tanpa proses pengadilan hanya karena mereka dianggap sebagai “Simpastisan PKI”, beberapa diantaranya adalah tokoh-tokoh terkemuka seperti Pramoedya Ananta Toer yang harus mendekam puluhan tahun dipenjara hanya karena beliau dianggap bagian dari komunis melalui karya-karya tulisanya.
Bukan hanya itu, etnis Tionghoa yang sudah lama menetap di Indonesia dan hanya berdagang serta tidak ada sangkut pautnya dengan PKI dan berbagai kebijakanya juga menjadi korban penjarahan dan penangkapan serta diskriminasi sosial hanya karena leluhur mereka berasal dari daratan China (RRC) yang berideologikan Komunisme.
Kita semua memang mengakui bahwa PKI dengan ideologi komunisnya memang sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan Ketuhanan, akan tetapi sangat tidak adil jika 3 juta orang harus kehilangan nyawanya dan dibantai begitu saja tanpa proses pengadilan hanya karena persepsi “Satu Pohon Melambangkan Satu Hutan”