Mohon tunggu...
Chrestella IvanaWidyaputri
Chrestella IvanaWidyaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo semua! Saya Chrestella, seorang mahasiswa Psikologi di Universitas Brawijaya. Saat ini saya sedang menempuh semester 4.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Di Antara Moralitas dan Hukum Alam: Mencari Makna Kebaikan dan Kejahatan

25 Mei 2024   13:30 Diperbarui: 25 Mei 2024   20:57 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sifaan.medium.com/the-battle-between-good-and-evil-520ecdc84a8d

Sejak zaman kuno, manusia telah mencoba memahami asal-usul kebaikan dan keburukan yang ada di dunia ini. Salah satu teori yang muncul adalah dualisme, kepercayaan bahwa ada dua kekuatan yang saling bertentangan: kebaikan dan keburukan, cahaya dan kegelapan. Teori ini menarik karena memberikan penjelasan sederhana tentang adanya kejahatan di dunia, namun juga mengundang pertanyaan mendalam tentang sifat Tuhan dalam agama-agama monoteistik.

Dalam pandangan dualisme, keburukan dilihat sebagai entitas yang terpisah dan sederajat dengan kebaikan. Ini jelas bertentangan dengan konsep monoteisme, di mana Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan yang mutlak dan tidak terbagi. Bagaimana mungkin ada kekuatan lain yang setara dengan Tuhan dan mampu menciptakan kejahatan? Pertanyaan ini telah menjadi perdebatan panjang di kalangan teolog dan filosof sejak dahulu.

Salah satu argumen yang sering diajukan oleh penganut dualisme adalah bahwa keberadaan kejahatan di dunia ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan keberadaan Tuhan yang Maha Baik. Jika Tuhan benar-benar Maha Baik, mengapa Dia membiarkan penderitaan dan kejahatan terjadi? Bukankah ini menunjukkan adanya kekuatan lain yang berseberangan dengan kebaikan Tuhan?

Namun, argumen ini dapat dibantah dengan mengatakan bahwa kejahatan bukanlah entitas yang terpisah, melainkan hanya ketiadaan kebaikan. Sama seperti kegelapan hanyalah ketiadaan cahaya, kejahatan dapat dilihat sebagai ketiadaan kebaikan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan ini, Tuhan tetap menjadi sumber kebaikan yang mutlak, dan kejahatan hanyalah akibat dari ketidaksempurnaan ciptaan-Nya.

Selain itu, dualisme juga menghadapi kelemahan logis. Jika kebaikan dan keburukan benar-benar terpisah dan saling bertentangan, bagaimana mungkin mereka bisa berinteraksi satu sama lain? Apakah mungkin bagi sesuatu yang benar-benar baik untuk dipengaruhi oleh kejahatan, atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa dualisme mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan kompleksitas alam semesta.

Bagaimana Hukum Alam Bekerja?

Suatu individu dapat mencapai keadaan pikiran yang bebas dari keinginan, yang dikenal sebagai "nirvana". Dalam nirvana, seseorang mencapai tingkat kesempurnaan dan kedamaian yang tidak terganggu oleh keinginan atau pikiran negatif lainnya. Mereka melihat realitas dengan kejelasan dan ketenangan yang mutlak, tanpa terjerat dalam siklus penderitaan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak terpenuhi. Sebaliknya, kepercayaan terhadap tuhan tidak begitu penting bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis adalah 'Tuhan itu ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?’ Prinsip pertama agama Buddha adalah ‘Penderitaan itu ada. Bagaimana cara menghindarinya?’

Ajaran Buddha tidak menyangkal keberadaan para dewa – mereka digambarkan sebagai makhluk perkasa yang dapat mendatangkan hujan dan kemenangan – namun mereka tidak mempunyai pengaruh terhadap hukum bahwa penderitaan timbul dari nafsu keinginan. Jika pikiran seseorang bebas dari segala nafsu keinginan, tidak ada tuhan yang dapat membuatnya sengsara. Sebaliknya, ketika nafsu keinginan muncul dalam pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak dapat menyelamatkannya dari penderitaan.

Kehidupan manusia seringkali jauh lebih kompleks daripada sekedar pertempuran hitam dan putih antara kebaikan dan keburukan. Tindakan manusia dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti lingkungan, budaya, dan pengalaman hidup, yang tidak selalu dapat digolongkan ke dalam kategori "baik" atau "buruk" secara mutlak. 

Selain itu, pandangan dualistik ini juga dapat membahayakan karena dapat membenarkan tindakan kekerasan dan intoleransi terhadap pihak yang dianggap sebagai "musuh" atau perwakilan dari keburukan. Sejarah telah mencatat banyak konflik dan peperangan yang terjadi karena masing-masing pihak mengklaim diri sebagai perwakilan kebaikan dan menganggap pihak lain sebagai keburukan yang harus diperangi.

Oleh karena itu, mungkin lebih bijaksana untuk memandang kebaikan dan keburukan sebagai sebuah spektrum yang selalu hadir dalam kehidupan manusia, bukan sebagai dua kutub yang saling bertentangan. Setiap tindakan manusia mengandung unsur kebaikan dan keburukan, dan tugas kita adalah untuk terus berusaha meminimalkan keburukan dan memaksimalkan kebaikan dalam hidup kita sehari-hari.

Pada akhirnya, "The Battle of Good and Evil, The Law of Nature" merupakan pertanyaan abadi yang mungkin tidak akan pernah terjawab sepenuhnya. Namun, dengan terus memperdebatkan dan merefleksikan konsep ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas kehidupan manusia dan bagaimana kita dapat menjadi makhluk yang lebih baik di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun