Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini tertuang dalam UU no. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Jelang akhir tahun, rakyat Indonesia mendapat kejutan luar biasa. Sayangnya, kejutan tersebut bukan berupa diskon besar-besaran atau promo menarik yang biasa ditunggu-tunggu saat musim liburan, melainkan rencana pemberlakuanSontak, kebijakan ini mendapat protes dari kalangan luas rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, di kala negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand justru berusaha menurunkan PPN, Indonesia justru malah menaikkan. Kini, Indonesia menjadi negara dengan PPN tertinggi se-ASEAN namun dengan upah buruh yang terendah.
Temuan Center of Economic and Law Studies (CELLOS) mengindikasikan bahwa sebenarnya PPN 12% ini justru mengancam pertumbuhan ekonomi 2025. Kebijakan ini berisiko menurunkan PDB hingga Rp. 65,3 triliun, dan mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp. 40,68 triliun. Kelompok kelas menengah akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp. 354.293 per bulan, kelompok rentan miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp. 153.871 per bulan dan kelompok miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp. 101.000 per bulan.
Pemerintah memberikan argumentasi bahwa Tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Nyatanya itu hanya ilusi saja, faktanya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru mengumumkan bahwa kenaikan tarif PPN 12% ini berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11%. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% tidak hanya berlaku pada barang mewah saja tapi juga untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat pada umumnya seperti makanan di restoran, pulsa, shampo, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix.
Lalu bagaimana cara menghitungnya? Misalnya, tarif PPN sebesar 11% dan kita membeli sebuah tas seharga Rp1 juta, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp.110 ribu. Angka ini didapat dari 11% dikalikan Rp1 juta. Jadi, total harga yang harus dibayar adalah Rp.1,110 juta. Namun, jika tarif PPN naik menjadi 12%, maka PPN yang perlu dibayar untuk tas seharga Rp1 juta adalah Rp.120 ribu. Dengan begitu, total harga yang harus dibayar menjadi Rp.1,120 juta. Mungkin kenaikan dari Rp. 110.000 ke 120.0000 terkesan kecil, hanya menambah Rp.20 ribu. Tapi bayangkan jika harganya Rp. 10 juta, maka pajaknya naik dari Rp. 1,1 juta menjadi 1,2 juta, naik 100 ribu, besar bukan?
Banyak yang bertanya-tanya mengenai alasan dibalik kebijakan ini, mengapa pemerintah seolah ngotot menaikkan PPN ini meskipun sudah tahu dampak buruk terhadap masyarakat? Beberapa pakar mengatakan bahwa alasan utama kenaikan PPN ini sebenarnya dipicu oleh program-program unggulan pemerintah yang telah dicanangkan sebelumnya, terutama saat kampanye. Pemerintah disinyalir membutuhkan pendanaan seperti dana untuk program makan siang gratis. Di sisi lain, pemerintahan Prabowo juga membutuhkan dana untuk melanjutkan beberapa program mercusuar era pemerintahan Jokowi seperti pembangunan IKN yang menghabiskan dana yang besar.
Menurut laporan Narasi, kenaikan ini sebenarnya merupakan hasil inisiatif pemerintahan Jokowi yang diproses secara kilat pada 2021 selama kurang lebih 3 bulan. Awalnya kebijakan ini bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), lalu kemudian setelah disetujui oleh DPR dan beberapa kementerian akhirnya berubah menjadi RUU HPP.Â
Dampak kenaikan ini tentu saja berimplikasi besar terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Kenaikan ini tidak hanya menakutkan namun juga mengerikan terutama bagi masyarakat kecil Indonesia yang memang masih mendominasi strata sosial di negara ini. Oleh sebab itu, tampaknya pemerintah harus mempertimbangkan ulang keputusan ini meskipun terlihat mustahil untuk dibatalkan, mengingat Januari 2025 tinggal menghitung hari.
Kenaikan PPN tidak bisa kita jadikan solusi mutlak dalam menambah pendapatan negara, sebab hal itu sama saja seperti menjerat leher masyarakat untuk menghasilkan income yang lebih besar.
Alih-alih menaikkan PPN menjadi 12%, yang justru akan berdampak besar pada masyarakat kecil, pemerintah seharusnya concern memilih alternatif penerimaan negara lainnya, misalnya pajak kekayaan, ataupun pajak-pajak produksi besar lainnya seperti batubara dan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H