Bahlil Lahadalia menuai kontroversi terkait gelar doktor yang didapatkannya baru-baru ini. Â Hal itu menjadi polemik setelah ia menjalani sidang terbuka pada 16 Oktober 2024 dan mendapat gelar doktoral dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia kurang dari dua tahun. Pasalnya, gelar yang di dapatkan terlalu cepat dan dianggap tidak wajar dari prosedur biasanya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,Tidak hanya itu saja, setelah kabar ini banyak berseliweran di sosial media, berbagai protes dan pertanyaan dari masyarakat semakin menambah keraguan atas gelar yang diraih. Terlebih Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM yang dicantumkan sebagai informan utama dalam disertasi Bahlil bergerak cepat protes, menolak nama mereka dijadikan sumber informan dalam disertasi tersebut.Pasalnya, Melky Nahar yang menjabat sebagai Koordinator Nasional JATAM, menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak memberikan persetujuan untuk menjadi informan dalam disertasi Bahlil yang berjudul "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia."
Dalam surat pernyataan JATAM, dikatakan bahwa "Kami, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), melalui surat ini menyatakan penolakan atas pencantuman nama JATAM sebagai informan utama dalam disertasi milik Bahlil Lahadalia yang berjudul, "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia". Kami tidak pernah memberikan persetujuan, baik secara tertulis maupun lisan, untuk menjadi informan utama bagi disertasi tersebut. JATAM hanya memberikan persetujuan untuk diwawancarai oleh Ismi Azkya yang sedang mengerjakan penelitian untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain, sebagaimana ia memperkenalkan diri kepada kami. Ia hanya menjelaskan sedang melakukan penelitian terkait dengan profesinya sebagai peneliti di Lembaga Demografi UI. Adapun penelitian yang dimaksud berkaitan dengan dampak hilirisasi nikel bagi masyarakat di wilayah tambang."
Pernyataan dan penolakan JATAM di atas telah menambah rentetan ketidakwajaran dan memberikan gambaran bahwa apa yang telah dilakukan Bahlil dinilai sebagai tindakan yang mencederai nilai-nilai akademik. Lantas mempertanyakan apa urgensi gelar tersebut bagi kariernya saat ini yang tidak membutuhkan kenaikan pangkat layaknya ASN? Meskipun dalam pemerintahan, gelar akademik sering kali dijadikan alat legitimasi. Namun, untuk seorang menteri dengan rekam jejak yang solid seperti Bahlil, muncul pertanyaan mengenai apakah gelar doktor ini lebih ditujukan untuk menambah kredibilitas di hadapan komunitasnya, seperti alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), atau untuk meningkatkan kredibilitas professional dikalangan pejabat negara.
Sebagian pengamat menyayangkan langkah ini dan mempertanyakan, bila benar gelar doktor ditujukan untuk prestise semata, mengapa harus melibatkan pemangkasan prosedur yang seharusnya bisa dijalani dengan utuh?.
Gelar bukanlah jalan untuk membeli penghormatan dari masyarakat, atau untuk mendapatkan pengakuan bahwa kita berpendidikan. Namun gelar adalah bukti bahwa kita telah berproses belajar sesuai dengan aturan yang berlaku, yang pada akhirnya bertujuan menjadikan kita manusia yang utuh dan mengerti bagaimana nanti bisa turut berkontribusi dalam penyelesaian berbagai macam masalah di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H