Literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami dan mengkritisi informasi terhadap keadaan sekelilingnya. Dengaan berliterasi juga membuka gerbang ilmu pengetahuan dan memberikan pencerahan, bahkan menjadi alat dalam ranah perjuangan.
Para pejuang kemerdekaan sewaktu kancah revolusi fisik, menjadikan sebagai alat perjuangan melawan bentuk-bentuk penjajahan di Indonesia. Sejarah republik ini mencatat banyak para founding father Indonesia yang jago menulis, jago berpuisi, piawai membuat pamflet, pandai memainkan teater dan membuat lagu sebagai reaksi kritis mereka akan kondisi saat itu.
Karena apa? Karena dengan  berliterasi merupakan kunci untuk keluar dari jeratan kebodohan dan ketidakadilan. Masyarakat yang kurang akan literasi dan informasi akan mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya pada era kekinian, bayak masyarakat yang mudah termakan hoaks, propaganda, dan ujaran kebencian.
Selain itu, literasi juga sebagai alat untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan sosial. Ya karena dengan literasi, masyarakat dapat dengan mudah untuk memahami hak-hak mereka dan berani menyuarakan aspirasinya. Nah guys, salah satu bagian dari literasi adalah dengan membaca puisi. Puisi merupakan suatu karya sastra yang lahir dari rasa yang diungkapkan oleh penyair dengan bahasa yang bermakna dengan menggunakan irama, rima dan bait.
Seminggu yang lalu, Sabtu 13 Juli 2024 saya menghadiri acara bedah buku kumpulan puisi "Monolog Hujan" karya Frans Ekondhanto Purba di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini. Saya didapuk untuk membaca salah satu puisi yang ada dalam buku tersebut. Ya saya hanya hadir dalam acara tersebut sebagai salah satu penampil diantara penampil-penampil lain seperti Teater Moksa, Syahnagra Ismail, Ical Vrigar dan Dara Wita Aanstasia. Oh iya, sebagai pembahas buku diantaranya seperti budayawan Vukar Lodok, Staff Khussus Presiden Diaz Hendropriyono  dan Politisi Partai Nasdem Willy Aditya.
Pada pembacaan puisi yang ada pada buku tersebut, saya memilih untuk membacakan puisi berjudul "Pulau Tidung yang Merundung". Kenapa saya pilih judul puisi itu? Karena puisi tersebut secara spontan saya pilih kebetulan bertepatan dengan relawan-relawan Gerakan Turuntangan Jakarta  sedang menjalankan program Safari Nagari di Pulau Tidung yang dibantu oleh Jejak Seribu.Â
Safari Nagari merupakan progran inkubasi oleh Turuntangan Jakarta yang dimaksudkan untuk mendorong anak-anak di berbagai kampung di Jakarta supaya semangat belajar dan berani meraih mimpi. Kebetulan hari itu saya mendapat undangan untuk program Safari Nagari di Pulau Tidung, namun saya tidak bisa untuk menghadiri. Semoga dengan pembacaan  puisi tersebut dapat menjadi kenangan dan menggantikan ketidakhadiran saya di Pulau Tidung. Tetapi semangat buat relawan Turuntangan Jakarta dan relawan Jejak Seribu.
Pedjoeang boekan? Hadapi!
Artikel-artikelku yang lain dapat dibaca di sini ya... :
Cerita Inspiratif, Relawan Ini Dapat Beasiswa di Luar Negeri
Pilih Istri Muda atau Istri Awet Muda?
Selamat Milad ke-7 Para Jawara dan Pengacara Jakarta Â
Kembara Asyik: Berliterasi Sembari Menikmati Kopi Â
Tahun Baru Hijriyah dan Spirit Transformasi Diri Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H