“Saking lamanya saya merantau dan bertemu dengan berbagai jenis tampilan fisik orang dan kecenderungan sifat-sifatnya, maka saya mudah menebak sifat seseorang hanya dengan melihat tampilan fisiknya”, begitu dikatakan Pak Rudi yang kini berumur di atas 70 tahun.
Pak Rudi saya temui di rumahnya, di Desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Desa tersebut adalah ‘petilasan’ kompleks pesantren terbesar pada abad ke-18. Tersebutlah nama pengasuhnya Ki Ageng Muhammad Besari yang melegenda sebegai Bapak pendiri pondok pesantren pertama di tanah Jawa.
Pak Rudi asli Tegalsari, ia salah satu diantara keturunan Ki Ageng Besari, entah dari generasi yang keberapa. Yang jelas pengalaman pendidikan dan berkelana semasa mudanya menunjukkan sosoknya yang sudah kosmopolitan di zaman itu.
Jaringan pertemanan dan pengelanaanya tak sebatas wilayah Ponorogo atau Jawa Timur saja. Sejak umur belasan tahun Pak Rudi sudah merantau ke Jogja untuk sekolah. Sekolah yang dipilih bukan sekolah negeri atau swasta Islam, melainkan sekolaha Katholik. Sebagai Muslim dia memilih di sekolah Katholik karena kualitasnya lebih bagus. Zaman itu memang hampir belum ada sekolah Islam yang dianggap berkualitas, banyak anak-anak tokoh Islam justru disekolahkan di sekolah milik yayasan Katholik.
Selesai dari Jogja, melanjutkan ke Malang. Masih untuk pendidikan. Awalnya masih di sekolah Katholik, lalu melanjutkan ke sekolah milik yayasan Islam.
Usai merantau untuk sekolah, perantauan Pak Rudi berlanjut. Ia merantau ke Surabaya, ke Bali, ke Salatiga, dan terakhir ke Klaten.
Ia menekuni bidang keahlian elektronik, bekerja di bengkel yang menyediakan jasa service barang-barang elektronik khususnya radio. Keahlian itulah yang membuatnya selalu survive di tempat perantauan.
Bahkan, keahlian itulah yang menjadikannya diambil mantu oleh pengurus Masjid di tempat perantauan terakhirnya di Klaten. Ceritanya, saat merantau di Klaten ia membuka jasa service sendiri, ia suka ke Masjid dan selalu memberikan jasa gratisnya untuk perbaiki sound Masjid. Tak lama kemudian, pimpinan takmir masjidnya suka sama dia dan akhirnya menikahkannya dengan anaknya.
“Zaman itu, memiliki keahlian service elektronik adalah sebuah kebanggaan. Masih jarang yang memiliki keahlian ini. Biaya service pun mahal, hingga penghasilan dari profesi ini cukup besar”, katanya.
“Saya menjalani profesi sebagai ahli service radio mulai dari zaman radio mamakai tabung besar, radio transistor, hingga zaman radio pakei IC (intergrated circuit)”, tambahnya.
Saat menikah di Klaten dan beranak satu, ia dipanggil pulang oleh orang tua di Tegalsari. Setelah merantau hampir dua puluh tahun, akhirnya Pak Sadeli pulang kampung “for good” dengan membawa seorang istri dan bayi yang baru berumur enam tahun. Untuk menjaga kelangsungan ekonomi, di Tegalsari, dia membuka jasa service elektronik. Usahanya laris dan mencukupi ekonominya. Bahkan berkembang menyediakan jasa pembuatan batrai (accumulator).
“Tak ada yang punya keahlian itu di Ponorogo, hanya saya”, katanya. Ilmu membuat baterai-pun ia “curi” dari mantan bos tempat kerjanya di kota lain. Waktu itu belum ada listrik PLN masuk kampung, listrik baru masuk setelah tahun 1985. Jadi, orang yang punya radio atau televisi menyalakannya menggunakan batrai. Bisnis batrai saya sangat menguntungkan zaman itu.
Tetapi zaman berubah, setelah PLN masuk kampung, usaha pembuatan baterai saya mati. Tak ada lagi orang pesan baterai, karena barang-barang elektronik menyala dengan langsung colok ke listrik PLN.
Demikian juga, keahilan service elektronik saya, tidak laku lagi. Orang-orang kalau barang ektroniknya rusak, lebih baik beli baru. Karena harganya murah.
Akhirnya Pak Rudi banting setir: bertani. Sebagai trah Ki Ageng Besari, sawah warisannya cukup luas. Dia kelola sawah itu, ditanami padi. Sawah itulah yang menjadi tumpuan hidupnya hingga sekarang.
Pak Rudi sekarang hidup berdua dengan istri tercintanya. Anak-anaknya sudah menyebar merantau ke kota lain. Ngobrol dengan Pak Rudi tak pernah membosankan, wawasan dan pengalamannya yang luas menjadikan tema obrolan selalu berkembang. Itu pula yang menandakan kekosmopolitan Desa Tegalsari, meski desa, sejak zaman sudah kosmopolitan.[]
Yuk baca artikel-artikelku yang lain:
Sociopreneur, Aksi Nyata Mahasiswa sebagai Agent of Change
Berkunjung ke Ponpes Al-kautsar Al-akbari, Medan
Mengapa Anies Selalu Disambut Meriah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H