Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Pengelana yang Kembali: Sepenggal Cerita dari Tegalsari

18 Desember 2022   09:00 Diperbarui: 30 Agustus 2023   04:04 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Dokumen Pirbadi/Istimewa

“Saking lamanya saya merantau dan bertemu dengan berbagai jenis tampilan fisik orang dan kecenderungan sifat-sifatnya, maka saya mudah menebak sifat seseorang hanya dengan melihat tampilan fisiknya”, begitu dikatakan Pak Rudi yang kini berumur di atas 70 tahun.

Pak Rudi saya temui di rumahnya, di Desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Desa tersebut adalah ‘petilasan’ kompleks pesantren terbesar pada abad ke-18. Tersebutlah nama pengasuhnya Ki Ageng Muhammad Besari yang melegenda sebegai Bapak pendiri pondok pesantren pertama di tanah Jawa.

Pak Rudi asli Tegalsari, ia salah satu diantara keturunan Ki Ageng Besari, entah dari generasi yang keberapa. Yang jelas pengalaman pendidikan dan berkelana semasa mudanya menunjukkan sosoknya yang sudah kosmopolitan di zaman itu.

Jaringan pertemanan dan pengelanaanya tak sebatas wilayah Ponorogo atau Jawa Timur saja. Sejak umur belasan tahun Pak Rudi sudah merantau ke Jogja untuk sekolah. Sekolah yang dipilih bukan sekolah negeri atau swasta Islam, melainkan sekolaha Katholik. Sebagai Muslim dia memilih di sekolah Katholik karena kualitasnya lebih bagus. Zaman itu memang hampir belum ada sekolah Islam yang dianggap berkualitas, banyak anak-anak tokoh Islam justru disekolahkan di sekolah milik yayasan Katholik.

Selesai dari Jogja, melanjutkan ke Malang. Masih untuk pendidikan. Awalnya masih di sekolah Katholik, lalu melanjutkan ke sekolah milik yayasan Islam.

Usai merantau untuk sekolah, perantauan Pak Rudi berlanjut. Ia merantau ke Surabaya, ke Bali, ke Salatiga, dan terakhir ke Klaten.

Ia menekuni bidang keahlian elektronik, bekerja di bengkel yang menyediakan jasa service barang-barang elektronik khususnya radio. Keahlian itulah yang membuatnya selalu survive di tempat perantauan.

Bahkan, keahlian itulah yang menjadikannya diambil mantu oleh pengurus Masjid di tempat perantauan terakhirnya di Klaten. Ceritanya, saat merantau di Klaten ia membuka jasa service sendiri, ia suka ke Masjid dan selalu memberikan jasa gratisnya untuk perbaiki sound Masjid. Tak lama kemudian, pimpinan takmir masjidnya suka sama dia dan akhirnya menikahkannya dengan anaknya.

“Zaman itu, memiliki keahlian service elektronik adalah sebuah kebanggaan. Masih jarang yang memiliki keahlian ini. Biaya service pun mahal, hingga penghasilan dari profesi ini cukup besar”, katanya.

“Saya menjalani profesi sebagai ahli service radio mulai dari zaman radio mamakai tabung besar, radio transistor, hingga zaman radio pakei IC (intergrated circuit)”, tambahnya.

Saat menikah di Klaten dan beranak satu, ia dipanggil pulang oleh orang tua di Tegalsari. Setelah merantau hampir dua puluh tahun, akhirnya Pak Sadeli pulang kampung “for good” dengan membawa seorang istri dan bayi yang baru berumur enam tahun. Untuk menjaga kelangsungan ekonomi, di Tegalsari, dia membuka jasa service elektronik. Usahanya laris dan mencukupi ekonominya. Bahkan berkembang menyediakan jasa pembuatan batrai (accumulator).

“Tak ada yang punya keahlian itu di Ponorogo, hanya saya”, katanya. Ilmu membuat baterai-pun ia “curi” dari mantan bos tempat kerjanya di kota lain. Waktu itu belum ada listrik PLN masuk kampung, listrik baru masuk setelah tahun 1985. Jadi, orang yang punya radio atau televisi menyalakannya menggunakan batrai. Bisnis batrai saya sangat menguntungkan zaman itu.

Tetapi zaman berubah, setelah PLN masuk kampung, usaha pembuatan baterai saya mati. Tak ada lagi orang pesan baterai, karena barang-barang elektronik menyala dengan langsung colok ke listrik PLN.

Demikian juga, keahilan service elektronik saya, tidak laku lagi. Orang-orang kalau barang ektroniknya rusak, lebih baik beli baru. Karena harganya murah.

Akhirnya Pak Rudi banting setir: bertani. Sebagai trah Ki Ageng Besari, sawah warisannya cukup luas. Dia kelola sawah itu, ditanami padi. Sawah itulah yang menjadi tumpuan hidupnya hingga sekarang.

Pak Rudi sekarang hidup berdua dengan istri tercintanya. Anak-anaknya sudah menyebar merantau ke kota lain. Ngobrol dengan Pak Rudi tak pernah membosankan, wawasan dan pengalamannya yang luas menjadikan tema obrolan selalu berkembang. Itu pula yang menandakan kekosmopolitan Desa Tegalsari, meski desa, sejak zaman sudah kosmopolitan.[]

Yuk baca artikel-artikelku yang lain:

Sociopreneur, Aksi Nyata Mahasiswa sebagai Agent of Change 

Berkunjung ke Ponpes Al-kautsar Al-akbari, Medan 

Mengapa Anies Selalu Disambut Meriah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun