Saat menikah di Klaten dan beranak satu, ia dipanggil pulang oleh orang tua di Tegalsari. Setelah merantau hampir dua puluh tahun, akhirnya Pak Sadeli pulang kampung “for good” dengan membawa seorang istri dan bayi yang baru berumur enam tahun. Untuk menjaga kelangsungan ekonomi, di Tegalsari, dia membuka jasa service elektronik. Usahanya laris dan mencukupi ekonominya. Bahkan berkembang menyediakan jasa pembuatan batrai (accumulator).
“Tak ada yang punya keahlian itu di Ponorogo, hanya saya”, katanya. Ilmu membuat baterai-pun ia “curi” dari mantan bos tempat kerjanya di kota lain. Waktu itu belum ada listrik PLN masuk kampung, listrik baru masuk setelah tahun 1985. Jadi, orang yang punya radio atau televisi menyalakannya menggunakan batrai. Bisnis batrai saya sangat menguntungkan zaman itu.
Tetapi zaman berubah, setelah PLN masuk kampung, usaha pembuatan baterai saya mati. Tak ada lagi orang pesan baterai, karena barang-barang elektronik menyala dengan langsung colok ke listrik PLN.
Demikian juga, keahilan service elektronik saya, tidak laku lagi. Orang-orang kalau barang ektroniknya rusak, lebih baik beli baru. Karena harganya murah.
Akhirnya Pak Rudi banting setir: bertani. Sebagai trah Ki Ageng Besari, sawah warisannya cukup luas. Dia kelola sawah itu, ditanami padi. Sawah itulah yang menjadi tumpuan hidupnya hingga sekarang.
Pak Rudi sekarang hidup berdua dengan istri tercintanya. Anak-anaknya sudah menyebar merantau ke kota lain. Ngobrol dengan Pak Rudi tak pernah membosankan, wawasan dan pengalamannya yang luas menjadikan tema obrolan selalu berkembang. Itu pula yang menandakan kekosmopolitan Desa Tegalsari, meski desa, sejak zaman sudah kosmopolitan.[]
Yuk baca artikel-artikelku yang lain:
Sociopreneur, Aksi Nyata Mahasiswa sebagai Agent of Change
Berkunjung ke Ponpes Al-kautsar Al-akbari, Medan
Mengapa Anies Selalu Disambut Meriah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H