Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Quo Vadis Etika dalam Pemerintahan

18 Juni 2021   06:38 Diperbarui: 18 Juni 2021   06:46 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Etika merupakan landasan manusia berbuat. Etika memandu kita menentukan mana yang baik dan tidak baik, menjadi guidance bagi manusia untuk menentukan perilaku yang menciptakan keseimbangan bagi khalayak-banyak. Etika juga menjadi landasan pembentukan hukum positif beserta turunannya. Termasuk dalam pemerintahan, etika musti menjadi landasan dalam menentukan norma-norma praktik pemerintahan dan tata kelolanya. Demikian juga, perilaku aparatur pemerintahan diatur sedemikian lupa melalui perundang-undangan dan peraturan turunannya, yang sumbernya dari etika. Etika adalah rujukan utama agar dalam menjalankan aturan tidak semata karena menjalankan aturan melainkan ada nilai-nilai dasar yang melandasinya.

Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) pada tanggal 5 Juni 2021 menyelenggarakan seminar sehari tentang etika pemerintahan. Seminar hybrid yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta  dan virtual zoom tersebut seperti menjadi oase di tengah kerinduan para pelaku dan akademisi di bidang pemerintahan untuk mendiskusikan kembali etika dalam pengelolaan pemerintahan. Saya sebagai mahasiswa program doktoral IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) merasa berkepentingan mengikuti seminar tersebut. 

Hadir sebagai keynote speaker guru besar IPDN yang juga mantan Menteri PAN/RB (Pemberdayaan Aparatur Negara / Reformasi Birokrasi) Prof. Ryaas Rasyid. Dalam kesempatan tersebut Profesor secara eksplisit mengatakan: "sudah lama kita tidak menyenggarakan diskusi publik tentang etika pemerintahan". Pernyataan professor bidang ilmu pemerintahan tersebut seperti tamparan buat pelaku dan akademisi ilmu pemerintahan, karena memang kenyataannya diskursus akademik tentang etika penyelenggaraan negara saat ini sangat minim. 

Pertama, diskursus lebih didominasi oleh pelaku politik yang menjadikan perbincangan soal etika pemerintahan lebih sebagai ranah marketing politik di media, dibanding sebagai substansi akademik. Kedua, hantaman Pandemi Covid19 turut menjadikan dominasi wacana pada bagaimana tindakan menghalau wabah mematikan tersebut sehingga space untuk diakuai soal etika secara signifikan terkurangi.

Dalam paparannya, Profesor juga mengingatkan kembali tentang maksud dan tujuan dibentuknya negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 45, yaitu: perlindungan terhadap segenap warga, kesejahteraan, kecerdasan, dan keterlibatan dalam perdamaian dunia. Profesor menerjemahkan tujuan tersebut dalam penjelasan yang lebih kongkret yaitu (1) menjaga ketertiban dan ketenteraman, (2) memberi arah kehidupan bersama tentang mendirikan suatu negara, (3) mengelola sumber daya kekuasaan agar dapat simultan bersinergi membangun kehidupan yang harmonis, kreatif, dan produktif, (4) menciptakan iklim kehidupan yang sehat dan bergairah melalui kebijakan yang adil secara sosial, ekonomi, hukum, dan politik dalam kehidupan bersama, dan (5) melindungi hak-hak hidup masyarakat minoritas dan menjamin keamanan umum

Dari kelima prinsip itulah Prof. Ryaas menjabarkan kembali tugas-tugas pokok pemerintahan: pelayanan sebagai corong utama memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemberdayaan sebagai sebuah aktivitas untuk meningkatkan kemandirian dan potensi masyarakat, dan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.

Profesor juga mengkritik secara tajam pemerintah dengan mangatakan: "Sudah lama Indonesia dikelola tanpa etika." Perjalanan pemerintahan di negeri ini dianggap telah melenceng jauh dari etika dasar yang tertuang dalam pembukaan UUD sebagaimana disebutkan di atas. Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan seringkali lebih banyak dilihat sebagai komponen penyuplai sumberdaya manusia dalam industri dari pada sebagai sebuah proses untuk mencerdaskan dan meninggikan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam konteks pelaku pemerintahan, mencerdasakan bukan sekedar membuat sekolah, tetapi tercermin dari perilaku pemimpin yang mencerminkan mencerdaskan, menjadi teladan, bukan malah menjadi beban bagi masyarakat, apalagi dengan membuat sesuatu yang kontroversi di masyarakat.

Lebih lanjut ia menyampaikan, negara dan pemerintahan yang beretika terdiri dari empat komponen utama: (1) kepemimpinan, (2) manajemen, (3) kebijakan dan implementasi, (4) pertanggungjawaban politik, dan pewarisan nilai bagi kelanjutan hidup bernegara. Pertama, kepemimpinan berarti adalah seseorang yang memiliki tiga hal: integritas, kompetensi, dan komitmen. Kedua, manajemen adalah kemampuan yang harus dimiliki pemimpin untuk mengelola tugas-tugas negara bersama tim kerja yang berkompetensi tinggi agar seluruh tanggung jawab dapat terlaksana dengan baik. Ketiga, kebijakan dan implementasinya yang memegang prinsip keadilan akan menciptakan suasana yang tenteram dalam masyarakat, sehingga kehidupan akan lebih sehat, produktif, dan maju. Keempat, pertanggungjawaban politik dan pewarisan nilai-nilai bagi kelanjutan hidup berbangsa menjadi referensi inspiratif bagi calon-calon pemimpin. Segala keberhasilan dan kegagalan dapat dimaknai secara objektif berdasarkan rujukan-rujukan yang telah disusun.

Etika pemerintahan tidak selalu menempatkan kegagalan sebagai kesalahan yang tidak termaafkan. Jika kesalahan-kesalahan tersebut bisa dikasih penjelasan secara objektif sebab-akibatnya, maka masyarakat demokratis tentu dapat mampu memaafkannya. Namun demikian, jejak negatif yang meninggalkan tradisi yang rusak akan secara kumulatif memelihara ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Kehidupan sosial akan dis-harmoni, dan bisa membawa bangsa menuju jurang kehancuran. Ini semua adalah akibat bencana absennya etika dalam sebuah negara atau pemerintahannya.

Pemilu dan Penyelenggaraan Pemerintahan

Setelah keynote speech, pembicara pertama adalah Prof. Siti Zuhro, ilmuwan politik dari LIPI, yang memaparkan materi dengan judul: "Pemilu dan Penyelenggaraan Pemerintahan Beretika." Menurutnya, Indonesia memasuki alam demokrasi yang lebih mendekati substansi semenjak reformasi 1998. Sampai saat ini, sistem politik demokratis dalam rentang 1998-2021 sedang dibangun dan diperjuangkan. 

Akan tetapi pemilu-pemilu demokratis belum tentu bisa mewujudkan pemerintahan yang efektif jika koordinasi antar lembaga pun tidak berjalan dengan baik. Lalu, apa yang salah dengan format pemilu? Adakah penyebabnya sehingga pemilu-pemilu ini tidak menghasilkan pemerintahan yang sinergis dan efektif?

Semua ini terjadi karena belum adanya kesepakatan formula demokrasi yang akan dijunjung sejak kemerdekaan sekalipun. Orde Baru seharusnya menjadi tonggak awal dalam perumusan formula demokrasi yang paripurna, tetapi ada beberapa penyebab mengapa orde reformasi belum dapat menyempurnakan formula tersebut: 1. Model transisi demokrasi yang tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, 2. Amandemen konstitusi yang cenderung tambal sulam, 3. Sistem multipartai ekstrem tidak mendukung skema sistem demokrasi presidensial.

Etika pemerintahan menjadi penting karena harus menjadi tolok ukur bagi kelompok yang berbeda secara ideologi, para pemimpinnya dan perwakilan terpilihnya di parlemen. Aparatur pun harus senantiasa menjaga kewibawaan dan citra pemerintah melalui kinerja dan perilaku sehari-hari. Etika pemerintahan mengamanatkan kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik bagi para pejabatnya. Pada bagian akhir, Prof. Siti Zuhro memberikan tiga rekomendasi berupa: penataan sistem pemerintahan, penataan sistem pemilu dan kepartaian, dan penataan politik hukum
 

Etika Birokrasi dalam Pemerintahan

Materi berikutnya dari pakar Ilmu Pemerintahan UI Prof. Eko Prasojo. Profesor yang juga pernah menjadi Menteri PAN/RB tersebut memaparkan materi berjudul "Etika Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan." Karena tidak hadir langsung di lokasi, materi disampaikan secara virtual melalui aplikasi zoom. Menurutnya etika selalu berhadapan dengan tantangan perubahan zaman. Perubahan zaman menuntut pragmatisme supaya tidak terpental dari percaturan. Namun demikian, etika tetap harus dipegang sebagai koridor dalam merespon perubahan.

Tantangan dalam mempertahankan tuntutan perubahan dilakukan melalui pendekatan ekologis dan patologis. Secara ekologis, faktor eksternalnya dipengaruhi oleh sistem sosial budaya dan intervensi politik. Sementara dalam faktor internalnya, dipengaruhi oleh kemampuan kepemimpinan, manajemen, struktur, budaya, dan organisasi.

Secara patologis, maka ada 175 penyakit birokrasi yang terkategori menjadi tiga jenis penyakit: Penyakit akut: pewajaran korupsi dan pelanggaran hukum; Penyakit kronis: mematikan organisasi; dan Kelainan kepribadian: pewajaran etika dan integritas yang cacat. Norma hukum dan etika menjadi alat untuk terhindar dari berbagai jenis patologis tersebut. Adapun norma dan hukum etika tercantum dalam hukum tertulis/tidak tertulis, meliputi: peraturan, etika, budaya, nilai dasar,  dan meta-norma.

Professor menyampaikan bahwa penyakit negara itu terletak pada oligarki terhadap pemerintahan. Oligarki dimaksud adalah pengaruh kuat oleh pengusaha dalam penyelenggarakan negara, atau yang sering disebut sebagai shadow government. Hal tersebut akan diperparah jika masyarakat sipilnya lumpuh dan apatis melihat masalah sosial. Korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi birokrasi dipengaruhi oleh lemahnya sistem, budaya, dan etika.

Desain politik dibuat bukan sekadar untuk mengakomodasi sistem politik sendiri, melainkan pada sistem kepemerintahan: good governance. Kala negara lain sudah maju ke sistem governance 4.0 yang mengutamakan kecepatan, konvergensi, dan etika. Kita masih berada pada governance 1.0 yang model politik berorientasi birokrasi, dengan hanya oligarki sebagai setir utamanya. Apa yang dapat membawa kita pada perubahan? Yaitu pada globalisasi, digitalisasi, dan milenialisasi.

Fenomena negara kita dilihat dari praktik KKN yang terus meluas, yang padahal sumbernya berasal dari lemahnya etika dan budaya: tren (aturan, praktik, doktrin yang problematis), struktur (sistem organisasi, aturan, hubungan antarpekerja, dan otoritas yang buruk), dan model mental (kepercayaan pribadi, tradisi saklek, prasangka buruk, dan nilai-nilai yang keliru).

Terakhir Prof. Eko Prasojo memberikan saran agar kita merumuskan UU Etika Pemerintahan. RUU ini akan melengkapi perubahan sistem yang ada dan proses pembentukan nilai dasar etika.

Peradildan dan Pelanggaran Etika Pemerintahan

Materi terakhir adalah dari Materi dari Prof. Trubus berujudul Sistem Peradilan terhadap Pelanggaran Etika Pemerintahan. Menurutnya, persoalan etika dan perilaku birokrat belakangan ini semakin menarik perhatian berbagai kalangan. Merebaknya kasus korupsi penyalahgunaan wewenang dan sejumlah penyimpangan perilaku di berbagai level pemerintahan mencerminkan betapa etika dan perilaku aparatur pemerintah masih memprihatinkan sehingga membutuhkan penataan dan perbaikan

Hasil penelitian menunjukkan, sikap perilaku maupun ucapan yang kurang etis dapat dilihat dari: 1. Pembohongan publik, 2. Membuat pernyataan tidak benar atau bohong, 3. Kurang terbuka atas informasi kepada masyarakat, 4. Kurang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan tugas, 5. Tidak konsisten dalam pelaksanaan kebijakan atau hukum, 6. Berlaku diskriminatif, 7. Kurang adil dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan 8. Kurang memberikan keteladanan yang baik.

Mengutip ilmuwan politik Amerika yang juga pernah menjadi Gubernur California Earl Warren, professor Trubus menegaskan bahwa hukum itu tak mungkin tegak dengan cara yang adil jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun