Konsekuensinya memang tidak ada kurikulum yang baku dan tidak ada kelas. Berbeda dengan santri yang orangtuanya membayar kepada pesantren (meskipun tidak selalu dalam bentuk uang), cantrik tidak pernah dituntut untuk membayar.
Jadi, orang yang menjadi cantrik tidak mengeluarkan uang untuk membayar sang guru tetapi mendedikasikan diri dan tenaganya untuk men-support pekerjaan-pekerjaan sang guru.
Lalu, apakah konsep cantrik sekarang ini masih ada? Jawabannya masih ada. Pun di sebuah pesantren yang sudah besar, biasanya ada beberapa 'santri' yang karena keterbatasan biayanya memilih jalan menjadi cantrik demi untuk mendapatkan ilmu.
Penulis sendiri pernah menjalani ini saat mondok di salah satu pesantren tertua di Jawa Timur. Karena keterbatasan biaya, penulis menjalani sebagai cantrik agar hidup di pesantren dan mendapatkan pendidikan agama yang setara dengan para santri dari berbagai penjuru Nusantara.
Ada kekurangan dan kelebihan menjadi cantrik. Kekurangannya, karena sebagian besar waktunya musti didedikasikan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik suruhan kyai, maka kesempatan untuk mengikuti kelas-kelas pembelajaran di pesantren secara langsung terbatas.
Namun demikian, ada kelebihan sebagai cantrik, yaitu memiliki kesempatan untuk interaksi langsung dengan kyai dan menimba secara langsung ilmu kehidupan dari sang kyai. Seorang cantrik mendapatkan privilege untuk mendapatkan mentorship langsung dari sang mentor (kyai) melalui interaksi keseharian.Â
(*M Chozin Amirullah, Ketua Gerakan Turuntangan, pernah nyantrik dan menjadi santri)
Tulisan ini pernah dimuat di kompas.com, 28 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H