Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diam Bukan Lagi Emas, Diam Berarti Kalah

26 September 2019   21:10 Diperbarui: 22 September 2021   17:15 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh M Chozin Amirullah (mantan aktivis '98)

Pasti pernah naik angkot bukan? Bayangkan diri Anda sedang naik angkot. Anda sedang tergesa-gesa. Tapi, jalanan crowded, macet. Tiba-tiba driver-nya berinisiatif kaluar jalur, zig-zag, menerobos, lawan arus, langsung merengsek ke depan. Lalu Anda lebih cepat sampai ke tujuan!

Saya ingin tanya, bagaimana perasaan Anda? Senang? Memujinya sebagai driver yang terampil? Walaupun sebenarnya di hati yang paling dalam tahu, tindakan itu melanggar aturan dan bahkan membahayakan.

Anda suka dengan tindakaan driver itu, karena Anda berada di dalamnya, menjadi bagiannya. Ada kepentingan kita yang terfasilitasi olehnya. Coba bayangkan jika Anda bukan orang yang di dalam angkot itu? Pasti Anda kesal bukan? Menyebutnya driver slebor.

Ilutrasi ini untuk menggambarkan situasi sekarang. RUU revisi KPK (baca: RUU penguburan KPK) akhirnya diketok palu oleh DPR-RI. Presiden bahkan menyepakati. Secara umum, sikap masyarakat terbelah menjadi tiga kelompok: pertama, yang menolak revisi; kedua, yang mendukung; dan ketiga, yang diam.

Mahasiswa menolak, mereka demo. Mayoritas rakyat juga menolak, bersuara melalui medsos dan atau dukungan logistik kepada mahasiswa yang demonstrasi. Mereka masuk kategori pertama.

Mereka juga yang mendukung revisi, mendapatkan full support logistik. Entah dari mana datangnya. Bikin demo tandingan pake massa bayaran. Bikin meme-meme pujian pada junjungan. Juga bikin isu Taliban. Mereka kategori kelompok kedua.

Tapi ada juga yang diam. Tak bersuara. Ini kategori kelompok ketiga. Katanya mengamati dulu, kuatir kalau berbuat akan menggerus popularitas junjungannya.

Kembali ke ilustrasi naik angkot di atas. Kelompok pertama adalah kelompok yang di luar kekuasaan. Mereka adalah yang tidak sedang naik angkot si driver slebor itu. 

Bukan berarti mereka tidak pernah naik, mereka mungkin pernah naik, cuma saat ini sedang tidak naik. Mereka sikapnya tegas, teriak saat melihat driver mengemudi secara membahayakan.

Kelompok yang kedua, mereka adalah bagian dari apparatus si driver itu. Mereka memang hari-harinya bekerja pada driver. Mereka musti tunduk dengan apapapun kata driver.

Tugas mereka meyakinkan penumpang: apapun tindakan driver, adalah tindakan yang benar. Kalau perlu adu argumentasi yang di luaran sana, untuk meyakinkan penumpang bahwa mereka aman bersama driver.

Kelompok yang ketiga, adalah kelompok penumpang. Mereka orang-orang yang ada di dalam kendaraan itu. Meraka memilih untuk naik angkot bersama driver itu. Mereka tahu ada tindakan driver yang membahayakan, tetapi memilih diam. Sebab diuntungkan, capat sampai ke tujuan.

Mereka bisa siapa saja. Mantan mahasiswa, mantan aktivis '98, pekerja, akademisi, seniman, motivator, mantan pendukung 01, mantan pendukung 02, mantan pejuang antikorupsi, siapa saja.

Tulisan ini saya tujukan kepada kelompak ketiga. Saat simbol-panglima perlawanan terhadap korupsi secara sistematis sedang dimatikan, Anda memilih tak bersuara. Dengan segala atribut mantan tersebut, mustinya malu kalau tak berbuat apa-apa.

Di antara Anda bahkan berada di lingkar terdekat sang 'driver'. Anda punya akses yang paling dekat untuk mengingatkan.

Ini bukan soal dukung-mendukung pasangan politik. Ini bukan soal curiga-mencurigai Taliban. Ini bukan soal kuliah Pancasila ataupun keberagaman. Ini soal suara hati nurani. Soal membetulkan arah negeri.

Saat ini hati nurani Anda sedang bersuara. Dengarkan! jangan biarkan ia terbungkam. Saat arah negeri keluar dari jalur gara-gara driver yang slebor, kita harus sama-sama mengingatkannya!

Mereka-mereka yang kemarin ketuk palu mengesahkan RUU itu memang memiliki SK sebagai wakil rakyat. Tetapi saat tindakan mereka justru mengangkangi hati nurani rakyat, saatnya rakyat harus bersuara. Tunjukkan bahwa, kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, bukan ditangan wakil-wakil rakyat.

Bagi Anda yang tidak bisa turun ke jalan, bantu mereka yang turun ke jalan.

Saat ini, diam bukan lagi emas. Diam berarti kalah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun