Tugas mereka meyakinkan penumpang: apapun tindakan driver, adalah tindakan yang benar. Kalau perlu adu argumentasi yang di luaran sana, untuk meyakinkan penumpang bahwa mereka aman bersama driver.
Kelompok yang ketiga, adalah kelompok penumpang. Mereka orang-orang yang ada di dalam kendaraan itu. Meraka memilih untuk naik angkot bersama driver itu. Mereka tahu ada tindakan driver yang membahayakan, tetapi memilih diam. Sebab diuntungkan, capat sampai ke tujuan.
Mereka bisa siapa saja. Mantan mahasiswa, mantan aktivis '98, pekerja, akademisi, seniman, motivator, mantan pendukung 01, mantan pendukung 02, mantan pejuang antikorupsi, siapa saja.
Tulisan ini saya tujukan kepada kelompak ketiga. Saat simbol-panglima perlawanan terhadap korupsi secara sistematis sedang dimatikan, Anda memilih tak bersuara. Dengan segala atribut mantan tersebut, mustinya malu kalau tak berbuat apa-apa.
Di antara Anda bahkan berada di lingkar terdekat sang 'driver'. Anda punya akses yang paling dekat untuk mengingatkan.
Ini bukan soal dukung-mendukung pasangan politik. Ini bukan soal curiga-mencurigai Taliban. Ini bukan soal kuliah Pancasila ataupun keberagaman. Ini soal suara hati nurani. Soal membetulkan arah negeri.
Saat ini hati nurani Anda sedang bersuara. Dengarkan! jangan biarkan ia terbungkam. Saat arah negeri keluar dari jalur gara-gara driver yang slebor, kita harus sama-sama mengingatkannya!
Mereka-mereka yang kemarin ketuk palu mengesahkan RUU itu memang memiliki SK sebagai wakil rakyat. Tetapi saat tindakan mereka justru mengangkangi hati nurani rakyat, saatnya rakyat harus bersuara. Tunjukkan bahwa, kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, bukan ditangan wakil-wakil rakyat.
Bagi Anda yang tidak bisa turun ke jalan, bantu mereka yang turun ke jalan.
Saat ini, diam bukan lagi emas. Diam berarti kalah!