Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih baik turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anies Baswedan Anti Agama?

3 Oktober 2016   15:55 Diperbarui: 3 Oktober 2016   21:09 12600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar dua minggu lalu, tepatnya tanggal 19 September 2016, saya 'sowan' ke kediaman Presiden Thoriqoh Al-mu'tabaroh An-nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya di Pekalongan. Jujur, meskipun saya berkampung halaman yang sama, namun berkesempatan tatap muka langsung. Sungguh, hari itu adalah kesempatan emas bagi saya untuk menimba ilmu banyak dari ulama kharismatik tersebut.

Dalam sebuah segmen dialog kami, ada satu hal yang saya catat menarik terkait pandangan politik Habib. Bagi Habib, harus dibedakan antara memilih pengurus negara dengan memilih pengurus agama. Sebagai contoh dalam  Pilkada, sikap kita seringkali lebih dipengaruhi oleh latar belakang keyakinan agama kita dari pada rasionalitas. 

Padahal, memimpin agama berbeda dengan memimpin negara. Keduanya sama-sama mengurus masyarakat, tetapi wilayah otoritas dan perangkatnya berbeda. Yang satu otoritasnya tak terbatasi oleh administrasi, yang satunya lagi terbatasi oleh wilayah administrasi. Habib mencontohnya bahwa dirinya adalah pemimpin agama, bukan pemimpin negara. Tiap hari ratusan bahkan ribuan orang datang dari berbagai penjuru dunia untuk minta doa dan konsultasi jiwa, bukan minta program. Jadi tak cocok kalau nyalon Pilkada.

Terkait dengan pandangan politiknya ini, Habib menyampaikan ilustrasi, jika ada dua kandidat dalam Pilkada: satunya pinter ngaji (pinter agama) dan yang satunya lagi tidak pinter ngaji tetapi punya pengalaman mengurus administrasi negara. Dengan asumsi keduanya memiliki track record integritas yang jelas, Habib akan memilih calon yang kedua. Mengapa? Karena yang akan dipilih adalah orang yang akan mengurus negara, bukan mengurus agama.

"Lha memangnya gubernur punya agama?" Sebagai sebuah posisi dalam struktur negara, apa layak kita kasih label agamanya apa?"
"Yang memeluk agama khan orang-orang. Orang-orang itu ada yang kebetulan berprofesi sebagai petani, nelayan, pedagang, karyawan perusahaan, aparat negara, dan bahkan gubernur."

Pandangan Habib di atas memberikan penyegaran pada kita. Pada hakikatnya, orang yang sedang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tak ubahnya seperti orang yang sedang melamar pekerjaan bukan? Jika pelamar pekerjaan diseleksi oleh manajer perusaan, maka pelamar jabatan gubernur yang menyeleksi adalah kita-kita, para pemilihnya.

Maka, memilih gubernur hanya dengan menimbang agamanya saja sama saja dengan seorang manajer perusaahaan yang memilih karyawan TIDAK berdasarkan pengalaman kerja dan apa yang bisa diperbuatnya, tetapi hanya berdasarkan emosi dan kedekatannya saja.

Tentu, sebagai seorang Muslim secara emosional akan senang jika gubernurnya kebetulan beragama sama, sebagaimana jika seorang Kristen atau Hindu atau Budha juga akan senang kalau kebetulan gubernurnya beragama sama. Sebagaimana pula secara emosional akan bangga jika orang Jawa senang jika gubernurnya etnis Jawa, orang Minang senang kalau gunernurnya etnis Minang, orang Tionghoa senang kalau gubernurnya etnis Tionghoa, orang bugis senang kalau gubernurnya ber-etnis Bugis dan sebagainya dan sebagainya....

Tetapi apa itu saja cukup? Tentu tidak khan? Untuk memilih orang yang akan kita amanahi untuk memimpin sebuah otoritas administrasi suatu wilayah, kita justru musti mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dengan track record kinerja dan visi yang dibawanya.

Saya menyampaikan ini karena kemarin sempat ada kontroversi terkait dengan pernyataan bakal calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang oleh media 'terplintir'. Judul beritanya" "... Pilihlah Pemimpin Jangan Lihat Agamanya, Tetapi Visi dan Misinya." Judul itulah yang sempat menyebabkan salah interpretasi seakan-akan Anies anti agama. 

Padalah jika kita baca isinya, substansinya adalah senafas dengan cerita dialog saya dengan Habib Luthfi di atas. Bahwa sentimen primordial (seperti suku, agama, dan ras) tentu ada pada pribadi masing-masing pemilih, tetapi hanya menggunakan sentimen itu untuk menjadi landasan memilih adalah naif. Untuk memilih seorang pemimpin daerah, musti benar-benar dilihat visi dan misinya.  Beruntunglah kini detik.com sudah mengganti judul beritanya dengan "Anies Baswedan: Kampanye Jangan SARA, Tetapi Visi Misinya"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun