Lalu, tidakkah ada ruang lain dimana kita bisa melepaskan diri dari logika penguasa dan yang dikuasai, penindas dan tertindas, sentral dan marjinal? Adakah ruang dimana eksistensi individu benar-benar merasakan kemerdekaannya sebagai sebuah entitas manusia? Agaknya pertanyaan ini yang perlu kita cari jawabannya bersama. Mungkin kita perlu memulai untuk memikirkan ranah lain yang di luar konteks sebagaimana kita bicarakan di atas.
Oleh karena itu, barangkali spiritualitas menjadi salah satu sequent lain yang perlu diketengahkan dalam pembicaraan ini. Sebab dalam dunia spiritual manusia merasakan individunya eksis secara mandiri dan terlepas dari relasinya dengan manusia lain. Tuhan sebagai bentuk relasi baru sebagai bahan interaksi mampu menghilangkan persangkaan-persangkaan kompetitif dalam diri manusia. Timbulnya perasaan ke-intim-an yang dalam dalam pengalaman manusia menjadikan manusia merasa damai dan sejuk. Dalam spiritualitas, manusia menjaga jarak (sementara) antara dirinya dengan realitras (uzlah). Disini manusia menemukan eksistensinya dalam celupan cinta yang tidak terlukiskan.
Namun persoalan kemudian muncul, ternyata karakter spiritulitas manusia juga terbentuk sebagai akibat dari interaksi. Karakter spiritualitas seseorang ternyata juag dibentuk oleh akibat interaksi dirinya dengan lingkungannya yang terakumulasi menjadi pengalaman. Karakter spritual manusia yang satu berbeda dengan yang lainnya karena interaksi dengan lingkungan antar satu dengan yang lainnya juga berbeda. Kita bisa membuktikannya dengan kenyataan bahwa orang yang terdidik dalam lingkungan nasrani tidak akan merasakan spiritualitas dalam dirinya ketika ia melakukan ritual shalat; demikian juga sebaliknya, orang Islam merasakan keanehan terhadap penganut Kristen yang berdo’a dengan menggunakan salib.
Spiritualitas bagi Fritcjhof Squon adalah sesuatu yang esoteris, sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang bersangkutan tanpa bisa menceritakannya secara penuh pada orang lain. Sebagaimana rasa asinnya garam, kita tidak bisa mengukurnya. Barangkali spiritualitas lebih merupakan pengalaman dan tidak bisa dijadikan sebagai solusi sosial. Sebab, spiritualitas hanyalah berfungsi sebagai sarana pendingin (jika memakai logika mesin) untuk menghindarkan diri dari keterasingan. Atau, bisakah spiritualitas sebagai sumber inspirasi (intuisi) dalam menemukan ide-ide besar yang mengatasi kecerdasan otak manusia yang serba terbatas itu. Wallahu a’lam bishowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H