Nilai adalah sesuatu yang akan menentukan keberpihakan seseorang terhadap sebuah tatanan. Nilai akan menentukan sikap dan tindakan seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungannnya. Nilai muncul sebagai akibat dari apresiasi terhadap sutu fenomena. Di dalamnya ada estetika, moral dan keberpihakan. Â Bagi penguasa nilai terhadap sesuatu bisa di konstruk oleh kekuatan opini yang dibentuknya, dan itu bisa dikendalikan.
Untuk  menentukan nilai yang akan dimanut oleh masyarakat kekuasaan akan melakukan standardisasi terhadap nilai suatu kebudayaan. Ukuran-ukuran mengenai estetika dan moral ditentukan oleh penguasa melalui opini yang diebentuk oleh mass media miliknya. Contoh sederhana adalah bagaimana Orde Baru melakukan kontrol terhadap film-film yang muncul pada masanya. Kita sering menyaksikan penilaian-penilaian yang dilakukan oleh PARFI sering tidak sesuai dengan penilaian masyarakat kebanyakan. Hal ini merupakan contoh bagaimana institusi negara berusaha melakukan manipulasi terhadap nilai suatu jenis kebudayaan.
2.Institusionalisasi Kebudayaan
Cara ini selain sebagai alat untuk menguatkan budaya-budaya yang dianggap mendukung status qou, juga merupakan cara untuk melakukan pelemahan terhadap budaya-budaya yang menentang kekuasaan. Pada masa awal Orde Baru pemerintah membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional sebagai wadah bagi budayawan untuk mendukungnya. Pendirian lembaga ini juga dimakksudkan untuk menandingi LEKRA yang dianggap melawan negara. Kita juga merasakan bagaimana selalu ada lembaga-lembaga sentral yang menjadi wadah bagi pelaku-pelaku budaya seperti AJI, PWI, dan sebagainya.
3.Penggunaan Aparat Yuridis
Biasanya hal ini muncul dalam bentuk perundang-undangan yang membatasi gerak dari institusi-institusi kebudayaan yang kontra hegemonik. Sebagai contoh pelarangan pentas-pentas kesenian yang mengandung unsur budaya Cina pada masa orde baru adalah salah satu bentuknya. Demikian juga untuk melakukan pertunjukan-pertunjukan kesenian dulu kita pernah harus melewati perizinan yang sangat berbelit-belit dan memakan biaya tinggi.
Dari paparan di atas kita bisa melihat betapa budaya sebagai hasil cipta dan karsa manusia yang sebenarnya mengandung nilai-nilai yang sangat luhur tiba-tiba menjadi profan dan bahkan cenderung naif oleh sebab intervensi kekuasaan yang merasuk ke dalamnya.
Sebaliknya, bagi kelompok yang dimarjinalkan, budaya juga mempunyai kekuatan sebagai alat perlawanan. Kesenian-kesenian rakyat seperti reyog, dangdut, teater dan sebaginya merupakan lahan-lahan yang distilisasi oleh kelompok perlawanan  untuk mensosialisasikan ide-idenya.
Spiritualitas Sebagai Ruh Budaya yang Independen
Berbicara mengenai budaya dan relasinya dengan kekuasaan maka kita akan menemui sebuah titik buntu, dimana seakan-akan tak ada ranah pemberhentian bagi orang yang membicarakannya. Selamanya budaya (dimana kita pasti hidup bersamanya) hanyalah menjadi alat bagi pertarungan kepentingan manusia-manusia yang tiada habisnya. Selamanya akan terjadi pertarungan antara penguasa dan yang dikuasai sebagai akibat dari penghisapan dari yang berkuasa terhadap yang dikuasaninya.
Perlawanan yang dilakukan oleh 'yang terhegemoni' pada hakikatnya juga merupakan cara untuk menjadi menjadi penguasa baru, yang akhirnya menindas juga. Jika perlawanan tersebut menemukan titik kulminasinya dan berhasil menumbangkan kekuasaan lama, maka kekuasaan akan berpindah dari penguasa lama kepada penguasa baru. Penindasan oleh penguasa lama berakhir, dan mulailah babak penindasan baru dengan bentuk dan wajah yang baru pula. Novel Gorge Orwell (2001) yang berjudul Animal Farm agaknya patut kita baca untuk melukiskan keadaan ini.