Oleh M. Chozin Amirullah*
[caption id="attachment_303597" align="alignright" width="300" caption=""][/caption]
PEROLEHAN suara parpol-parpol dalam Pemilu 2014 lalu tidak ada yang melebihi 20 persen. Konsekuenesinya, tidak ada satupun Parpol yang bisa mengusung Capresnya sendirian. Sebab, syarat agar parpol bisa mengusung capres sendirian adalah memenuhi 20 persen kursi nasional atau 25 persen suara nasional. Oleh karena itu, koalisi adalah sebuah keniscayaan bagi parpol-parpol yang akan mengusung capres.
Berkaca pada perolehan suara berdasarkan quick count, saat ini sudah tergambar tiga poros koalisi: pertama, koalisi dengan poros PDI-P yang mengusung capres Jokowi; kedua, koalisi yang dibangun oleh Golkar dengan mengusung Aburizal Bakrie sebagai capres; dan ketiga, poros koalisi yang dibangun oleh Gerindra dengan mengusung Capres Prabowo. Pertanyaannya adalah, mungkinkan dibangun jalan baru dengan membentuk koalisi poros keempat?
Dalam sebuah negara yang menganut sistem presidensial multi partai seperti Indonesia, memang agak susah untuk mendapatkan pemenang mayoritas. Mau tidak mau parpol yang akan mengusung capres harus berkoalisi dengan partai lain. Demikian juga, akan sulit membangun koalisi ideal berdasarkan kesamaan ideologi/platform. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah lahirnya koalisi lintas ideologi karena kepentingan pragmatis berdasarkan bagi- bagi kekuasaan belaka (power sharing).
Perebutan untuk mendapatkan koalisi, sudah dimulai dengan penjajakan komunikasi antar parpol dilakukan secara intensif. Yang paling mencolok safari politik yang dilakukan Jokowi dengan mendatangi ketua-ketua parpol seperti Suryo Paloh (Nasdem), Aburizal Bakrie (Golkar), dan Muhaimin Iskandar (PKB). Bisa dibilang, saat ini Jokowi adalah yang paling aktif mendatangi (dan atau didatangi) para pimpinan parpol untuk mempercepat koalisinya. Hasilnya, Nasdem sudah dipastikan berkoalisi dengan PDI-P dengan pernyataanya mendukung Jokowi maju di Pilpres. Sedangkan Golkar sudah memastikan akan tetap mengusung capres sendiri. Meskipun dengan tawaran kompromistis akan siap berkoalisi diparlemen dengan PDI-P jika Golkar kalah di pilpres nanti. Sementara itu, pesaing PDI-P, Gerindra yang mengusung Prabowo sebagai capres juga sudah melakukan penjajakan koalisi dengan beberapa partai seperti PKB, PPP, PKS dan lain-lain. Sampai saat ini, belum ada kepastian parpol mana yang siap berkoalisi.
Di luar dari pada itu semua, komunikasi antar pimpinan-pimpinan parpol berbasis massa Islam seperti PKB, PPP, PAN, dan PKS sebenarnya perlu untuk dilakukan. Tujuannya, mencari peluang untuk memunculkan koalisi Poros Tengah jilid II. Di tengah persaingan tiga kubu partai nasionalis yaitu PDI-P, Golkar dan Gerindra, kemunculan Poros Tengah Jilid II bisa jadi akan akan jadi fenomena menarik. Jika gagasan ini bisa diwujudkan, diprediksi akan mengubah peta politik menjelang Pilpres. Apalagi melihat presentase suara partai politik Islam, jika digabungkan, bisa mencapai 30 persen. Hal ini tentu akan menjadi bargaining politik sendiri jika mengusung Capres alternatif.
Memang, kalau melihat dinamika yang berjalan, agak susah untuk menyatukan parpol-parpol berbasis Islam tersebut. Faktor historis dan ego sektoral akan menjadi kendala tersendiri. Terutama PKB yang pernah merasakan dikhianati saat Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan oleh poros tengah. Untuk menjembatani itu, dibutuhkan sosok figur tepat untuk merekatkan koalisi parpol berbasis Islam. Figur itu sebenarnya dimungkinkan dilakukan oleh Partai Demokrat. Figur SBY sebagai presiden saat ini yang juga berpengalaman dalam membangun koalisi tentu memiliki kekuatan khusus untuk membangun ini. Apalagi parpol-parpol berbasis Islam pernah bekerjasama dengan partai demokrat dalam pemilu 2009.
Kalkulasi Koalisi
ecara teoritis koalisi bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: pertama, koalisi pas terbatas (minimum winning coalition), yaitu koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Kedua, koalisi kekecilan (undersized coalition), yaitu koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana diparlemen. Dan ketiga, koalisi kebesaran (oversized coalition) yaitu koalisi yang melibatkan hampir semua partai ke dalam kabinetnya sehingga diparlemen mendapatkan dukungan mayoritas.
elihat hasil suara parpol pasca pileg, diprediksi tiga poros kekuatan (PDI-P, Golkar, dan Gerindra) akan sulit untuk mendapatkan koalisi ideal yaitu koalisi yang tidak hanya bisa memenangkan di Pilpres namun juga bisa mendapatkan dukungan politik mayoritas di parlemen. Kemenangan PDI-P yang dibawah 20 persen dalam Pemilu mempersulit ruang geraknya untuk mendapatkan koalisi ideal.
Skenarionya kalau hanya berkoalisi dengan Nasdem akan melahirkan koalisi kekecilan (undersized coalition). yaitu koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen, dan ini rentan akan terjadi hubungan yang tidak harmonis antara presiden dan parlemen. Yang paling riskan, usulan-usulan RUU dari presiden akan dimentahkan oleh parlemen karena tidak ada dukungan politik mayoritas. Ini bisa dikatakan menjadi koalisi bunuh diri bagi pemegang pemerintahan.
Begitupula Golkar dan Gerindra yang mempunyai suara 14 persen dan 11 persen, paling tidak masih butuh berkoalisi dengan dua parpol lain untuk mendapatkan syarat 20 persen untuk mengajukan calon presidenya. Dan itupun belum tentu bisa menjamin mendapatkan dukungan politik mayoritas di parlemen.
Yang menarik adalah kekuatan poros keempat. Partai Demokrat dengan figur SBY bisa merekatkan koalisi partai-partai berbasis Islam (PKB, PAN, PKS, PPP). Koalisi ini tidak hanya sekedar memenuhi syarat mengusung capres sendiri, namun juga akan mendapatkan dukungan politik mayoritas sederhana diparlemen. Jika bisa terwujud, maka ini akan menjadi kekuatan alternatif keempat, di luar tiga poros kekuatan koalisi di bawah asuhan PDIP, Golkar, dan Gerindra.
King Maker: Poros Keempat
Akan menjadi kejutan dan bahkan bisa menjadi kekuatan alternatif jika poros keempat tersebut bisa benar-benar dilahirkan. Mereka kita sebut sebagai Poros Koalisi Partai Tengah. Poros alternative ini akan mengubah peta Pilpres, jika mampu mengusung sosok figur yang ideal untuk lawan-tanding seimbang bagi Capres Jokowi yang diusung oleh PDI-P.
Untuk bisa bersaing dengan Jokowi, sosok figur yang dicalonkan oleh Poros Partai Tengah adalah figur muda yang punya kompetensi, jujur dan rekam jejak yang baik. Selain itu bisa diterima oleh semua parpol tengah dan layak untuk melaksanakan program-pogram berdasarkan platform yang telah ditetapkan oleh koalisi.
Dengan sama-sama mengusung capres muda akan menjadi pertarungan yang menarik dan berimbang antara kekuatan Poros Partai Tengah dan Poros PDI-P. Karena pilpres nanti diprediksi arus besar masyarakat lebih menginginkan capres muda, daripada capres wajah-wajah lama yang masih mendominasi pencapresan. Masyarakat sesungguhnya berharap adanya wajah-wajah baru untuk mengisi regenerasi kepemimpinan nasional.
.
* Alumnus Ohio University USA, Pendiri Suluh Nusantara
*Artikel ini diterbitkan oleh Jurnas.com edisi Rabu, 16 April 2014 -
See more at: http://www.jurnas.com/news/131929/Mencari-King-Maker-2014/1/Nasional/Opini#sthash.zuTRVdcz.dpuf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H