Pilpres yang akan berlangsung esok hari (9 Juli 2014) akan diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres: Jokowi-JK yang diusung Koalisi Rakyat (PDI-P, NASDEM, PKB, Hanura, PKPI) dan Prabowo-Hatta yang diusung Koalisi Merah Putih (Gerindra, PAN, PKS, PPP, GOLKAR, PBB). Secara matematis dukungan koalisi di kubu Jokowi-JK lebih kecil, hanya 38,97 persen. Sedangkan dukungan koalisi di kubu Prabowo Hatta cukup besar, yaitu 48,93 persen. Namun demikian, apakah besarnya koalisi berbanding terbalik dengan besarnya perolehan suara yang akan diperoleh dalam pemilihan? Mari kita lihat hasilnya besok.
Mengacu pada koalisi parpol-perpol yang menjadi pendukung masing-masing pasangan, polarisasi koalisi berdasarkan kesamaan ideologi sesungguhnya tidak lagi terjadi. Artinya politik aliran sudah secara siginifikan tergerus oleh proses pendewasaan demokrasi masyarakat. Buktinya, pada masing-masing koalisi terdapat parpol yang berlatar belakang lintas ideologi. Jikapun dalam kampanye, sebagian tim kampanye masih menggunakan ideologi (dan bahkan agama) sebagai ‘jualan’ untuk menarik suara pemilih, secara substansial sebenarnya tidak ada koalisi berbasis ideologi.
Sesungguhnya, pasca 15 tahun reformasi, masyarakat kita juga semakin matang dalam berpolitik. Mereka tidak lagi fanatik dukung-mendukung partai politik tertentu, mereka tidak mau terjebak dalam pusaran politik aliran tertentu yang selama ini tidak banyak mengubah kondisi ekonomi mereka. Ke depan, masyarakat banyak memilih partai politik berdasarkan pertimbangan program dan figur yang ditawarkan. Mereka tidak akan lagi mudah dimobilisasi berdasarkan ikatan primordial dan agama.
Sekilas Sejarah Politik Aliran
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, perseteruan politik aliran begitu dominan pada awal-awal kemerdekaan. Antropolog Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Tipologi sosiologis Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbert Feith dan Lance Castle saat menganalisis tipologi politik yang berkembang pada masa 1945-1965. Ada lima aliran politik yang berkembang pada saat itu, yaitu: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis, dan komunisme.
Perseteruan antar aliran politik begitu kuat sehingga tak jarang terjadi konflik fisik yang melibatkan antar pendukung partai politik. Massa dimobilisasi sedemikian rupa, disatukan berdasarkan ikatan ideologi dan simbol agama. Sehingga masyarakat terpecah-belah berdasarkan aliran politik yang ada pada waktu itu. Seperti perseteruan antara Masyumi dan PSI yang dianggap mewakili kubu Islam modernis dan sosialis dengan PNI, NU, dan PKI yang mewakili kubu nasionalis, Islam tradisionalis dan komunis. Di akhir perseteruan itu, Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI sebagai partai politik.
Setelah jatuhnya pemerintahan Sukarno, digantikan pemerintahan Orde Baru, lima aliran politik yang pernah tumbuh subur mengalami kemunduran dan mati suri. Soeharto mengambil kebijakan represif terhadap aliran-aliran politik yang dianggap ekstrim, seperti komunisme. Untuk memandulkan aliran politik, Soeharto membuat sistem merampingkan partai politik peserta pemilu. Hanya ada dua partai politik yaitu PPP dan PDI, dan ditambah GOLKAR sebagai golongan kekaryaan. Beberapa aliran politik pun dipaksa untuk bergabung (fusi) dalam satu partai. Kelompok-kelompok Islam baik modernis dan tradisionalis difusikan dalam PPP, kelompok nasionalis dan non Islam difusikan dalam PDI. Sedangkan golongan kekaryaan masuk GOLKAR.
Kebijakan stabilisasi politik dengan menggunakan sistem sedikit partai dan tindakan represif oleh Soeharto sangat efektif mematikan aliran-aliran idelogi yang pernah dominan pada masa Sukarno. Namun sayangnya, hegemoni Suharto melalui GOLKAR justru memangkas potensi parpol untuk lebih visioner dan programatik. Parpol hanya dijadikan sebagai institusi pelegitimasi kekuasaanya, yang mandul dari kretifitas.
Pasca Suharto, parpol-parpol kembali tumbuh subur. Masa awal reformasi, tepatnya pada pemilu 1999, terdapat 48 parpol menjadi peserta pemilu. Sebagian mencoba memunculkan kembali ideologi dan aliran politik seperti pada masa Sukarno. Seperti mendirikan Masyumi, PNI, Murba, dan PRD yang dianggap mewakili kelompok komunis. Namun, partai-partai itu tidak mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat. Hanya beberapa partai yang merepresentasikan aliran politik lama yang masih bertahan, seperti PKB (mewakili kelompok Islam tradisionalis NU), PDI-P (mewakili kelompok nasionalis Sukarnois), dan PAN (mewakili kelompok Islam modernis Muhammadiyah).
Sempat muncul parpol-parpol yang berbasis aliran, sebagai euforia dari keterkekangan selama rezim Orde Baru. Puncaknya adalah saat Gus Dur terpilih menjadi presiden yang didukung Poros Tengah, yang merupakan koalisi parpol-parpol Islam (PKB, PAN, PPP, PBB, PK). Gus Dur mengalahkan Megawati, yang didukung oleh kelompok nasionalis (PDI-P).
Tapi kemudian Gus Dur dijatuhkan oleh pimpinan Poros Tengah sendiri, Amien Rais. Momen tersebut merupakan titik balik yang menunjukkan bahwa politik aliran sesungguhnya lemah. Menguatnya politik aliran pada awal era reformasi, karena masih dalam masa transisi, dimana masyarakat belum siap menghadapi persaingan dan perbedaan pandangan politik sehingga sering terjadi konflik antara mereka.
Politik Simbol
Menarik untuk mencermati pola kampanye yang dilakukan kubu Prabowo-Hatta. Biar pun politik aliran sesungguhnya sudah semakin tergerus, tim kampanye Prabowo-Hatta sering menggunakan simbol agama sebagai bahasa politik. Dari mulai seruan “Umat Islam” untuk bersatu mendukung Parbowo-Hatta, hingga ucapan paling provokatif menganggap situasi pilpres 2014 seperti “Perang Badar.” Politik simbol ini ditempuh barangkali demi untuk mendapatkan dukungan pemilih mayoritas umat Islam. Bagaimanapun, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.
Penggunakan simbol agama untuk keperluan politik memang dilakukan oleh orang yang memiliki pemahaman bahwa agama menyatu dengan kekuasaan. Pentingnya penyatuan agama dan politik kekuasaan berangkat dari keyakinan bahwa agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sayangnya, penggunaan simbol-simbol agama dalam politik kekuasaan seringkali berujung pada kekecewaan para konstituennya oleh perilaku elit yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Simbol-simbol agama tak jarang hanya dijadikan sebagai legitimasi bagi tindakannya yang justru tidak agamis.
Dalam kampanye, penggunaan simbol-simbol agama memang selalu akan menarik bagi pemilih relijius. Meskipun tidak sedikit juga pemilih relijius yang tidak terpengaruh dengan penggunaan simbol-simbol agama tersebut. Penggunaan simbol-simbol agama untuk kampanye biasanya akan efektif di kalangan pemilih relijius yang kurang rasional.
Antitesa terhadap pola-pola kampanye menggunakan simbol agama adalah kampanye dengan mengedepankan visi dan program. Model ini lebih menggunakan komunikasi dengan memakai bahasa-bahasa rakyat, tanpa terlalu mengedepankan simbol-simbol agama untuk meraih dukungan. Pandangan agama yang substantif, yang lebih mengedepankan isi dari pada bentuk luarnya, menjadi dasar dari pola kampanye ini..
Politik Berbasis Misi
Sudah saatnya dalam pilpres besok, pemilih memilih calon pemimpinnya berdasarkan visi dan program. Memberikan dukungan politik hanya dengan berdasarkan sentimen aliran (suku, agama, dan etnisitas) bukan cara tepat dalam memajukan bangsa ini. Sentimen aliran berlebihan dalam politik tak jarang justru menimbulkan potensi gesekan di masyarakat. Padahal tujuan politik itu sendiri adalah untuk mendapatkan perubahan yang lebih baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian juga, para tim pendukung pasangan capres-cawapres perlu saling melakukan “kampanye politik positif”. Caranya yaitu dengan memperbanyak sosialisasi program capres-cawapres kepada masyarakat, setelah itu mengajak mereka mendiskusikannya. Pola kampanye seperti itu, selain lebih mendidik juga tidak menjadikan rakyat sebagai objek politik belaka. Sayangnya, saat ini waktu memilih sudah tinggal beberapa jam lagi. Hari tenang pun sudah berlangsung sejak tiga hari yang lalu.
Tapi tak apa, masyarakat tetap harus diberikan pendidikan politik. Masih ada sisa beberapa jam, sebelum mereka ke bilik suara, untuk diajak mendiskusikan dan membandingkan masing-masing program capres-cawapres. Nanti malam mereka bisa menilai sendiri, apakah program itu sesuai dengan aspirasi mereka apa tidak? Esok hari, mereka akan memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan yang rasional, bukan berdasarkan sentimen aliran belaka.
*Penulis adalah mantan ketua umum PB HMI 2009/2011 dan alumnus Ohio University USA. Saat ini aktif di Gerakan TurunTangan. Bisa dijumpai via email m.chozin@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H