Politik Simbol
Menarik untuk mencermati pola kampanye yang dilakukan kubu Prabowo-Hatta. Biar pun politik aliran sesungguhnya sudah semakin tergerus, tim kampanye Prabowo-Hatta sering menggunakan simbol agama sebagai bahasa politik. Dari mulai seruan “Umat Islam” untuk bersatu mendukung Parbowo-Hatta, hingga ucapan paling provokatif menganggap situasi pilpres 2014 seperti “Perang Badar.” Politik simbol ini ditempuh barangkali demi untuk mendapatkan dukungan pemilih mayoritas umat Islam. Bagaimanapun, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.
Penggunakan simbol agama untuk keperluan politik memang dilakukan oleh orang yang memiliki pemahaman bahwa agama menyatu dengan kekuasaan. Pentingnya penyatuan agama dan politik kekuasaan berangkat dari keyakinan bahwa agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sayangnya, penggunaan simbol-simbol agama dalam politik kekuasaan seringkali berujung pada kekecewaan para konstituennya oleh perilaku elit yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Simbol-simbol agama tak jarang hanya dijadikan sebagai legitimasi bagi tindakannya yang justru tidak agamis.
Dalam kampanye, penggunaan simbol-simbol agama memang selalu akan menarik bagi pemilih relijius. Meskipun tidak sedikit juga pemilih relijius yang tidak terpengaruh dengan penggunaan simbol-simbol agama tersebut. Penggunaan simbol-simbol agama untuk kampanye biasanya akan efektif di kalangan pemilih relijius yang kurang rasional.
Antitesa terhadap pola-pola kampanye menggunakan simbol agama adalah kampanye dengan mengedepankan visi dan program. Model ini lebih menggunakan komunikasi dengan memakai bahasa-bahasa rakyat, tanpa terlalu mengedepankan simbol-simbol agama untuk meraih dukungan. Pandangan agama yang substantif, yang lebih mengedepankan isi dari pada bentuk luarnya, menjadi dasar dari pola kampanye ini..
Politik Berbasis Misi
Sudah saatnya dalam pilpres besok, pemilih memilih calon pemimpinnya berdasarkan visi dan program. Memberikan dukungan politik hanya dengan berdasarkan sentimen aliran (suku, agama, dan etnisitas) bukan cara tepat dalam memajukan bangsa ini. Sentimen aliran berlebihan dalam politik tak jarang justru menimbulkan potensi gesekan di masyarakat. Padahal tujuan politik itu sendiri adalah untuk mendapatkan perubahan yang lebih baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian juga, para tim pendukung pasangan capres-cawapres perlu saling melakukan “kampanye politik positif”. Caranya yaitu dengan memperbanyak sosialisasi program capres-cawapres kepada masyarakat, setelah itu mengajak mereka mendiskusikannya. Pola kampanye seperti itu, selain lebih mendidik juga tidak menjadikan rakyat sebagai objek politik belaka. Sayangnya, saat ini waktu memilih sudah tinggal beberapa jam lagi. Hari tenang pun sudah berlangsung sejak tiga hari yang lalu.
Tapi tak apa, masyarakat tetap harus diberikan pendidikan politik. Masih ada sisa beberapa jam, sebelum mereka ke bilik suara, untuk diajak mendiskusikan dan membandingkan masing-masing program capres-cawapres. Nanti malam mereka bisa menilai sendiri, apakah program itu sesuai dengan aspirasi mereka apa tidak? Esok hari, mereka akan memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan yang rasional, bukan berdasarkan sentimen aliran belaka.
*Penulis adalah mantan ketua umum PB HMI 2009/2011 dan alumnus Ohio University USA. Saat ini aktif di Gerakan TurunTangan. Bisa dijumpai via email m.chozin@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H