Perkembangan teknologi digital telah memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang ekonomi. Salah satu transformasi paling signifikan yang terjadi adalah pergeseran dari transaksi tunai ke transaksi non-tunai, yang semakin meluas, terutama dalam belanja online. Saat ini, sebagian besar transaksi dalam perdagangan elektronik (e-commerce) dilakukan dengan metode pembayaran non-tunai, termasuk kartu kredit, transfer bank, e-wallet, dan berbagai aplikasi pembayaran lainnya. Masyarakat semakin mengandalkan sistem pembayaran elektronik karena dianggap lebih praktis, cepat, dan aman. Namun, bagi seorang Muslim, penggunaan uang non-tunai dan biaya administrasi dalam transaksi online bukan sekadar soal efisiensi dan kemudahan; aspek ini juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang menekankan etika, keadilan, dan kepatuhan pada syariah.Â
Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, industri e-commerce di Indonesia mengalami lonjakan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), total transaksi e-commerce di tanah air pada tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp 253,5 triliun, dengan hampir 50% transaksi dilaksanakan melalui platform belanja online. Adopsi pembayaran non-tunai yang semakin luas, seperti penggunaan kartu kredit, e-wallet, dan transfer bank melalui ponsel atau komputer, merupakan salah satu faktor pendorong utama dalam perkembangan ini. Pergeseran ini menunjukkan betapa pentingnya digitalisasi dalam dunia ekonomi, yang memungkinkan konsumen untuk berbelanja kapan saja dan di mana saja tanpa perlu membawa uang tunai. Kepraktisan ini tentu sangat menguntungkan, meningkatkan efisiensi dan kenyamanan transaksi bagi penjual maupun pembeli. Namun, perubahan ini juga membawa tantangan baru, khususnya bagi umat Muslim yang perlu memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip ekonomi Islam—yang lebih dari sekadar efisiensi, tetapi juga mengutamakan etika dan keadilan dalam setiap interaksi.Â
Penggunaan uang non-tunai, yang mencakup kartu kredit, debit, atau aplikasi pembayaran digital, pada umumnya sesuai dengan prinsip ekonomi Islam, asalkan tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh syariah. Dalam ajaran Islam, uang dianggap sebagai alat tukar, bukan komoditas yang diperdagangkan demi keuntungan. Dengan demikian, selama uang non-tunai berfungsi sebagai alat tukar yang sah dan diterima oleh semua pihak, penggunaannya diperbolehkan dalam Islam.Â
Namun, masalah dapat timbul jika penggunaan uang non-tunai disertai dengan unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah, misalnya riba atau bunga. Berbagai produk keuangan berbasis kartu kredit atau pinjaman online seringkali melibatkan bunga atau biaya tambahan, yang dapat memperbesar jumlah utang yang harus dibayar oleh konsumen. Ini jelas bertentangan dengan prinsip syariah yang melarang riba. Oleh karena itu, seorang Muslim perlu bijak dalam memilih metode pembayaran non-tunai yang tidak mengandung bunga atau biaya tersembunyi yang merugikan.Â
Di samping isu penggunaan uang non-tunai, biaya administrasi yang dikenakan oleh penyedia layanan dalam transaksi online juga menjadi perhatian utama dalam ekonomi Islam. Biaya administrasi ini adalah biaya yang dibebankan untuk pengelolaan transaksi atau pemeliharaan akun, meliputi berbagai komponen seperti biaya transfer, biaya transaksi, dan biaya lainnya. Dalam hukum Islam, biaya administrasi ini diperbolehkan dengan syarat bahwa mereka harus sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak memberatkan konsumen secara berlebihan.Â
Penggunaan uang non -tunai, yang meliputi metode pembayaran seperti kartu kredit, dompet digital , dan transfer bank, semakin mendominasi transaksi dalam sistem e-commerce. Uang non -tunai menawarkan berbagai manfaat , seperti efisiensi waktu dan kenyamanan bagi konsumen dalam bertransaksi. Namun, penggunaan metode pembayaran ini juga disertai dengan biaya administrasi yang sering kali tidak terlihat langsung oleh konsumen, yang dapat berpotensi menambah beban biaya yang tidak terduga . Biaya administrasi ini, meskipun sering dianggap sebagai bagian dari biaya transaksi, menimbulkan pertanyaan etis dalam konteks ekonomi Islam, terutama terkait dengan prinsip keadilan.Â
Prinsip keadilan dalam ekonomi Islam mengharuskan setiap biaya yang dikenakan untuk bersifat wajar dan transparan. Biaya yang tidak wajar atau tidak jelas, seperti biaya tersembunyi, atau biaya yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan nilai layanan yang diberikan, dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, biaya yang tidak memberikan manfaat nyata bagi konsumen atau yang menguntungkan satu pihak secara tidak adil juga harus dihindari, demi menciptakan hubungan yang adil antara semua pihak. Contoh yang sering dijumpai dalam transaksi online adalah biaya administrasi yang tinggi atau biaya tersembunyi yang ditarik oleh penyedia layanan pembayaran atau e-commerce. Konsumen sering kali tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai jumlah biaya ini hingga transaksi selesai, yang berpotensi menciptakan ketidak transparan dan kerugian. Dalam perspektif ekonomi Islam, biaya semacam ini harus dihindari karena melanggar prinsip transparansi dan keadilan.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun efisiensi menjadi alasan utama dalam penggunaan uang non-tunai dan pembayaran digital, seorang Muslim tidak boleh mengabaikan aspek etika dalam setiap transaksi. Fokus pada kemudahan dan kecepatan transaksi harus seimbang dengan prinsip-prinsip syariah yang menekankan pada keadilan, transparansi, dan penghindaran eksploitasi. Sebagai contoh, meskipun pembayaran non-tunai menawarkan kemudahan, jika metode pembayaran tersebut terkait dengan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariah, maka efisiensi tersebut patut dipertanyakan. Di sisi lain, biaya administrasi yang kadang dibebankan oleh penyedia layanan perlu dianalisis dengan cermat, baik dari segi keadilan maupun manfaatnya. Dalam ekonomi Islam, keadilan mencakup bukan hanya tidak adanya penindasan terhadap konsumen, tetapi juga penghindaran ketidakjelasan biaya yang bisa merugikan salah satu pihak. Efisiensi dalam bertransaksi tidak dapat dijadikan alasan untuk melupakan etika dan prinsip syariah di tiap transaksi.Â
Dalam menghadapi perkembangan pesat di dunia digital dan belanja online, sikap seorang Muslim terhadap penggunaan uang non-tunai dan biaya administrasi harus selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mengutamakan keadilan, transparansi, dan kepatuhan terhadap hukum syariah. Meskipun efisiensi menjadi alasan dominan dalam adopsi sistem pembayaran non-tunai, seorang Muslim harus tetap bijak dalam memilih metode pembayaran yang tidak mengandung unsur riba, gharar, atau maisir, dan senantiasa mempertimbangkan keadilan dalam penarikan biaya administrasi. Dengan cara ini, keseimbangan antara efisiensi dan etika dalam ekonomi Islam dapat terwujud, sehingga setiap transaksi menghadirkan manfaat baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Ekonomi Islam mengajarkan bahwa segala aktivitas ekonomi harus berlandaskan pada keadilan, transparansi, dan tidak merugikan salah satu pihak. Dalam pandangan Islam, uang bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, setiap transaksi harus menghindari elemen-elemen yang berpotensi merugikan, seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian). Prinsip-prinsip ini harus diimplementasikan dalam setiap aspek transaksi ekonomi, termasuk penggunaan uang non-tunai dan biaya administrasi yang mungkin timbul dalam transaksi belanja online.Â
Dalam perspektif ekonomi Islam , penggunaan uang non -tunai dan biaya administrasi dalam transaksi online tidak hanya perlu memprioritaskan efisiensi dan kenyamanan, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip syariah. Salah satu prinsip utama dalam ekonomi Islam adalah pelarangan riba, yaitu praktik mendapatkan keuntungan dari pinjaman secara tidak adil. Selain itu, dalam Islam juga menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam setiap transaksi , yang berarti biaya yang diterapkan harus transparan dan sebanding dengan layanan yang diberikan (Rohim dan Priyatno, 2021). Oleh karena itu , penting untuk memahami bagaimana sikap ekonomi umat Islam terhadap penggunaan uang non -tunai dan biaya yang terkait .
Berdasarkan pandangan ini , penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sikap ekonomi mahasiswa Muslim, khususnya di kalangan mahasiswa Institut Agama Islam Tazkia, terhadap penggunaan uang non -tunai dan biaya administrasi dalam berbelanja berani . Penelitian ini juga akan mengkaji bagaimana mahasiswa mengintegrasikan prinsip - prinsip syariah, seperti keadilan, efisiensi, dan larangan riba , dalam pengambilan keputusan terkait transaksi online. Fenomena ini semakin relevan dengan meningkatnya minat berbelanja online di kalangan generasi muda, terutama terkait dengan penggunaan uang non- tunai yang menjadi sangat populer di kalangan pelajar (Ilyas, 20 ).
Sebagai konsumen modern yang hidup di era digital , pelajar cenderung memilih transaksi yang cepat dan praktis, termasuk dalam hal pembayaran non-tunai. Namun , dalam tradisi ekonomi Islam , terdapat beberapa pertimbangan etis yang harus diperhatikan, termasuk sejauh mana biaya administrasi yang dikenakan dalam transaksi tersebut sesuai dengan prinsip -prinsip Islam. Dalam hal ini , prinsip efisiensi yang diharapkan dari penggunaan uang non -tunai harus seimbang dengan pemahaman yang baik tentang batasan-batasan yang diatur dalam syariat Islam untuk mencegah adanya tindakan yang tidak adil atau merugikan pihak lain.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek ini, sikap ekonom Muslim terhadap biaya administrasi dalam berbelanja secara berani mencerminkan upaya untuk mencapai keseimbangan antara efisiensi transaksi dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, kebijaksanaan dan tanggung jawab konsumen menjadi sangat penting untuk menghindari praktik konsumsi yang tidak sehat, seperti pengeluaran yang berlebihan atau pemborosan, yang bertentangan dengan prinsip Islam mengenai pengelolaan keuangan yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana mahasiswa Muslim, khususnya di kalangan mahasiswa Institut Agama Islam Tazkia, menilai dan mengelola biaya administrasi dalam berbelanja berani, serta bagaimana mereka menyeimbangkan antara kemudahan bertransaksi dan etika ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H