"ah, kata siapa ada pertengkaran?," Tiba-tiba Tulus nyletuk sendiri. Kopi hitam dalam cangkir itu hampir habis. Paling tinggal sesruputan lagi. Embun-embun yang sempat membasahi tanaman di depan rumah juga telah habis. Habis dimakan terangnya sinar mentari di pagi itu. Namun nampaknya pikiran Tulus belum habis. Masih saja mengingat mantan gebetannya yang terakhir itu. Mengingat alasan dia meninggalkan Tulus.
Hanya karena perbedaan pendapat tentang ucapan selamat Natal, mereka tak dekat lagi. Tulus masih belum juga paham, perbedaan sekecil itu bisa memutus silaturahmi. Pikiran Tulus yang jalannya kadang tak terkendali itu, semakin menyangka bahwa manusia sekarang akan mudah bertengkar hanya karena sesuatu yang beda.
Dia kembali mengingat. Di dunia lain, dunia yang hanya ada kata dan omongan tanpa terlihat wujud orangnya. Dunia Maya. Di sana, amat mudah bagi setiap orang yang berbeda, akan bertengkar.Â
Entah maksud pertengkarannya itu apa. Apakah mereka merasa pendapatnya paling benar, dan tak suka melihat pendapat mereka ada yang 'menyaingi'? Ataukah yang mereka cari adalah kepopuleran? Eksistensi? Semakin mereka menunjukan kebenaran pendapatnya, semakin mereka merasa akan disangka hebat bagi yang menontonnya?
Entahlah. Padahal, kalau orang sudah yakin dengan pendapatnya sendiri, tak perlu repot-repot menyombongkan kebenarannya pada orang lain. Apalagi memaksa orang lain menyetujui pendapatnya. Orang yang masih mecari 'massa' untuk menyetujui kebenaran pendapatnya, sesungguhnya karena dia sendiri masih belum percaya akan pendapatnya itu. Sehingga ia butuh pendukung, untuk membenarkan pendapatnya.
Tapi sekali lagi itu hanya ada di dunia maya. Nyatanya, di kehidupan Tulus yang nyata, di lingkungannya tak ada pertengkaran semacam itu. Masyarakat di sekitar Tulus saling menghargai perbedaan pendapat. Ada sih satu dua yang berdebat. Tapi itu hanya perdebatan kecil. Tak berlarut sampe satu dua jam.Â
Sedangkan perdebatan di dunia maya, seringnya berlarut-larut sampai hitungan minggu. Perdebatan yang bisa tak habis-habis karena yang berdebat memang sepetinya tak berniat mencari apa yang benar. Yang mereka tampilkan cenderung argumen-argumen yang membenarkan diri masing-masing. Yang ujungnya paling mentok menghasilkan siapa yang benar. Padahal, setiap pendapat seseorang bisa saja ada benarnya, juga ada salahnya.Â
Di kampung Tulus, Perdebatan semisal tentang perbedaan pilihan Capres. Paling 'panasnya' hanya beberapa menit. Setelah masing-masing merasa puas telah membela diri dengan pengetahuannya, ya sudah. Habis itu lanjut main gaple. Pas main gaple ya mereka sudah lupa dengan perdebatan tadi.
Apalagi dalam hal perayaan Hari Raya. Tetangga Tulus yang tak merayakan Idul Fitri, masih mau mengucapkan selamat pada yang merayakan. Yang tak merayakan Natal pun masih sempat mengucapkan selamat pada yang merayakannya. Mereka saling menjaga meskipun berbeda.
Itulah yang membuat Tulus tak habis pikir. Bahkan, kalau kopinya ditambah satu dua cangkir lagi pun, sepertinya pikirannya masih memikirkan satu hal itu. Perbedaan dengan gebetannya yang sampai memutus silaturahmi. Yang biasanya dalam dunia nyata, perbedaan itu mestinyanya bisa saling dipahami, dihargai. Atau sebenarnya, gebetan Tulus itu ada di dunia maya?