"Jika kau sulit menaklukkan lawanmu, maka jadikan ia temanmu!"
Seperti sudah diduga dan disangka, PDIP akhirnya resmi memecat Budiman Sudjatmiko dari keanggotaan PDIP pada Kamis 24 Agustus 2023 kemarin. Dengan demikian berakhirlah petualangan politik Budiman bersama partai kepala banteng tersebut.
Ada dua hal yang menjadi penyebab pemecatan tersebut.
Pertama, dukungan terbuka Budiman terhadap Capres Prabowo yang didukung oleh Koalisi Gemuk Gerindra, PKB, Golkar dan PAN. Padahal PDIP sudah mendeklarasikan dukungan terhadap kader PDIP sendiri yakni Ganjar Pranowo. Dengan demikian Budiman dianggap tidak tegak lurus lagi dengan sikap partai.
Kedua, Budiman dan teman-temannya "Alumni 96-98" korban teror/penculikan rezim Orba, selama ini adalah diehard yang dipakai sebagai "pentungan partai" untuk menekan pihak-pihak yang bisa distempeli sebagai "orang-orang warisan Orba."
Kondisi ini mirip dengan jabatan Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) era Orba yang dipakai untuk menangkapi orang-orang yang dituduh sebagai antek-antek PKI.
Ibarat kata, Budiman ini bak "koetjing" yang dipakai untuk menghalau tikus-tikus yang berkeliaran di rumah. Nah, kalau tikus-tikus itu ternyata sudah tidak ada lagi di rumah, maka untuk apalagi koetjing itoe? Apalagi tersiar pula chabar kalaoe tikoes dan koetjing itoe kini makan sepiring berdoea. Hadoeh soesah hati mak njak!
Tentunya tidak ada yang salah dengan sikap PDIP itu terhadap kader yang melakukan tindakan indispliner. Budiman memang wajar dipecat. Di sisi lain Budiman juga bisa memahami dan menerima keputusan partai terhadapnya, karena ia pun sadar akan konsekwensi dari pilihannya tersebut.
Akan tetapi Budiman pun punya alasan terhadap sikapnya yang mendukung Prabowo itu.Â
Pertama, Budiman, teman-temannya dan juga Prabowo adalah pejuang.
Mereka ini saling berperang untuk kepentingan bangsa lewat ideologi mereka. Dan hasilnya mereka kalah dan menang. Tahun 1996-1998, Budiman dan teman-temannya kalah, lalu mereka masuk penjara. Tumbangnya rezim Suharto kemudian membuat Prabowo kalah. Ia dipecat, lalu terusir dari negerinya sendiri, dan menjadi stateless di negeri orang.
Jadi ini bukan pertarungan personal antar orang per orang, melainkan pertarungan ideologi/sikap politik. Budiman dan teman-temannya itu mewakili Ali Sadikin, Hoegeng, para Eksil 1965 yang paspornya dicabut, dan jutaan warga Indonesia lain korban kekejaman rezim Suharto.
Prabowo mewakili para aparatur negara mulai dari presiden hingga komandan koramil bahkan juga Ketua RT yang menjadi alat represif rezim Suharto. Jadi kurang pas juga sebenarnya kalau kesalahan Orba hanya ditimpakan kepada Prabowo seorang. Pastinya Prabowo juga punya atasan dan bawahan pada masa Suharto berkuasa itu.
Kala itu perjuangan Budiman dan teman-temannya adalah freedom, kebebasan dari cengkeraman rezim Orba. Mereka kemudian berhasil memenangkannya, lalu keluar dari penjara. Kini Indonesia sudah menjadi negeri bebas sebebasnya. Malah terlalu bebas dan liberal, melebihi Amerika Serikat.
Kini di Indonesia semua direformasi. Nama jalan, pengerukan Sungai, penyebutan nama rumah sakit, Rumah Susun, bahkan UUD juga direformasi! Lha, presidennya sendiri pun boleh disebut badji-gan to-ol koq, hahaha
Ketika kebebasan itu sudah didapat (tentunya lewat sikap politik) maka perseteruan itu pun dengan sendirinya berakhir. Buktinya pada Pilpres 2009 lalu, Megawati pun tidak sungkan untuk menggandeng Prabowo sebagai cawapresnya. Lha, kenapa sekarang pedeipe jadi empot-empotan lagi mengangkat isu Prabowo dengan penculikan mahasiswa di zaman Orba? Hahaha.
Kedua, Persoalan negeri ini semakin kompleks dan berat.Â
Isu hilirisasi, pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional dan Kawasan termasuk Pembangunan infrastruktur yang sustainable dan sebagainya itu butuh pemikiran yang jauh ke depan. Dan Budiman merasa hasilnya akan lebih maksimal bila diperjuangkan bersama Prabowo, bukan dengan Ganjar atau Anies.
Dalam pandangan penulis, sah-sah saja Budiman berpendapat demikian. Toh pada kenyataannya PDIP dan Budiman sudah tidak saling membutuhkan lagi. Di zaman now PDIP tidak membutuhkan sosok seperti Budiman lagi. Pada Pileg 2019 lalu pun Budiman gagal masuk ke Senayan. Artinya "tuah PDIP" pun tak sakti lagi bagi Budiman agar bisa lolos ke Senayan.
Budiman kurang gercep sih. Coba kalau Budiman pada 2019 lalu cepet-cepet menyeberang ke Gerindra, lalu nyaleg lewat Dapil Jakarta Tanah Abang, Petamburan dan sekitarnya. Budiman pasti sudah bisa duduk ongkang-ongkang kaki di Senayan sana. Hahaha.
Apa pun itu, kini bukan zaman Orba lagi. Ini zaman demokrasi ala reformasi. Orang bisa bebas berpindah haluan politik tanpa rasa takut (termasuk rasa malu juga) Hawa panas bercampur polusi memang bisa membuat orang lupa diri, lupa ingatan bahkan lupa tujuan kemana tadinya ia hendak melangkah. Sebab sing penting itu bisa hepi...
***
Beberapa hari lalu Ketua DPP PDIP Said Abdullah membuat sebuah wacana untuk menduetkan Ganjar dengan Anies. Kalau yang mengatakan itu adalah Pak Karso, tukang soto di gang Sapi, Kelurahan Kenthir, Kecamatan Banyak Boongnya itu, tentu orang akan tertawa. Tersebab Pak Karso dianggap kebanyakan mengkonsumsi ketjoeboeng plus magic mushroom.
Namun kalau yang mengatakan itu adalah Ketua DPP PDIP, tentulah itu masalah serius! Serius, tapi jangan juga baperan, trus berasumsi kalau Anies nantinya akan sering-sering memakai baju berwarna merah, trus gak mau nonton Metro tivi lagi.
Rencana menduetkan Ganjar-Anies adalah opsi terakhir apabila situasi sangat genting. Pernyataan Ketua DPP PDIP itu adalah sebuah gertakan terhadap kubu Prabowo, yang kini menjadi koalisi tergemuk setelah Golkar dan PAN merapat ke koalisi Gerindra-PKB.
Dengan mengajak Anies plus Koalisi Perubahan bergabung ke PDIP-PPP, maka otomatis akan membuat koalisi mereka ini lebih gemuk dari pada koalisi Prabowo.
Lha, memangnya kalau koalisinya makin gemuk otomatis akan bisa memenangkan Capres/Cawapres? Tentunya tidak, tapi ya untuk kursi parlemen!
Masih ingat kasus planga-plongo tahun 2014 lalu? Ketika itu Jokowi naik menjadi presiden dengan koalisi kurus. Dan setahun pemerintahannya tidak bisa ngapa-ngapain karena kebijakan pemerintah sering dijegal parlemen koalisi gemuk Prabowo!
Berkat politik d-gang sapi, KMP Prabowo kemudian berangsur-angsur semakin singset, untuk kemudian sirna bak senja yang dicemburui malam. Jadi kalau mengharapkan pemerintahan 2024 nanti bisa berjalan lancar, maka presiden terpilih sebaiknya didukung oleh koalisi gemuk!
(disclaimer : penulis ini non partisan, bukan pendukung koalisi gemuk/kurus, cuma pendukung si jantung hati)
***
Ada sedikit pernyataan Budiman yang agak menggelitik. Ini terkait kedekatan ideologi. PDIP dan Gerindra adalah sama-sama partai Nasionalis yang mempunyai kesamaan ideologi. Pertanyaan Budiman adalah, kenapa Budiman dilarang mendekati Prabowo, sedangkan PDIP sendiri mendekati Anies yang ideologinya jelas-jelas berbeda dengan PDIP?
Ah, jangan-jangan...
Jangan-jangan pernyataan Ketua DPP PDIP itu adalah sebuah kode. Kode apa tuh?
Kan petugas partai itu ditengarai sudah tidak tegak lurus lagi dengan kebijakan partai, lalu hendak menyeberang pula ke sebelah. Kata Pak Karso tukang soto itu, "Musuh dari lawanmu adalah temanmu."
Rupanya antitesa petugas partai itu hendak dijadikan teman oleh Mak Nya! Hahaha
Makanya berpulitik itu tidak usah baperan apalagi sampai marah-marah dan sewot sendiri. Nyang penting hepi. Udah gitu aja.
Buat yang di hati, salam sayang selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H