Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Emyu, hahaha (Karena London Bukanlah Amsterdam)

19 Agustus 2022   14:05 Diperbarui: 19 Agustus 2022   14:16 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain-pemain Brentford merayakan gol, Sumber: Brentford's  (Twitter/SkyBetChamp via indianexpress.com)

Pelawak Merah bertanya kepada seorang bocah di luar stadion Old Trafford, "Apa klub favoritmu nak?" 

 "Emyu Pak" Jawabnya sopan

"Lalu siapa pemain favoritmu?"

"Tak satu pun, karena mereka itu badut semuanya!"

Pelawak Merah, "Hahahaha"


Erik ten Hag hatinya gusar bukan kepalang. Rupanya ia terkena "PHP" dari EPL (English Premiere League) Padahal sebelumnya ia sesumbar akan membawa Manchester Merah kembali berada "di tempat seharusnya," yakni pimpinan klasemen Liga Inggris. 

Fans MU kemudian menabur mimpi. Apalagi pada laga pramusim MU berhasil menjinakkan Liverpool 4-0. Ketika itu ten Hag bahkan mengatakan kalau lini tengah MU terlalu memberi ruang kepada pemain-pemain Liverpool. Wkwkwk.

Kalau bang Roma bilang, "Sekejam-kejamnya ibu tiri, ternyata lebih kejam ibu PC eh ibu kota," bukanlah isapan jempol belaka. Akhir pekan lalu ten Hag bersama pasukan Manchester merahnya itu rupanya dicukur habis "hingga plontos" oleh tim ibu kota Inggris tersebut.

Bukan Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur ataupun tim medioker seperti West Ham, Fulham atau Crystal Palace yang membabat MU, melainkan hanyalah tim gurem bernama Brentford.

Brentford adalah tim gurem yang baru promosi ke liga primer musim lalu. Walaupun tim kecil, tapi tim yang bermarkas di Brentford, London Barat ini adalah "tim cabai rawit, kecil tapi menggigit!"

Musim lalu Christian Eriksen, mantan pemain Spurs dan Inter Milan yang terbuang sempat singgah sejenak di klub ini. Semusim bersama Brentford Eriksen tampil apik, membuat ten Hag kepincut kepadanya. 

Brentford berusaha menahannya, tapi godaan cuan kemudian membuat Eriksen berpaling ke MU. Gaji lima kali lipat jelas membuat Eriksen mantap menatap masa depan dan melupakan yang ada di belakangnya.

Ngemeng-ngemeng soal gaji, ternyata besaran gaji itu tidak selalu linier dengan prestasi! Lha, wong gaji Ronaldo sebesar 510 ribu Pound per pekan atau 26.520.000 Pound per tahun itu jelas-jelas lebih dari cukup untuk menggaji seluruh pemain, pelatih, maskot klub beserta kecoa-kecoa Brentford yang suka ngumpet di selokan stadion itu!

Walaupun bergaji kecil, tapi pemain-pemain Brentford ini buktinya nyaman saja menggunduli pemain-pemain mahal MU itu. Gol pertama Brentford dilesakkan Josh Dasilva (bergaji "hanya" 18 ribu Pound per pekan) tanpa dapat ditahan kiper David de Gea yang bergaji 375 ribu Pound per pekan itu, Alamak!

Penulis tidak berhasil menemukan gaji pencetak gol Brentford lainnya seperti Mathias Jensen, Ben Mee dan Bryan Mbeumo. Namun dari daftar gaji pemain Brentford, pemain dengan gaji tertinggi adalah kiper David Raya dengan gaji 25 ribu Pound per pekan. Sedangkan pemain dengan gaji terendah adalah Tariqe Fosu dengan gaji 5 ribu Pound per pekan.

Jadi perbedaan gaji Ronaldo dengan Fosu bukan saja seperti langit dengan bumi, melainkan seperti langit dan sumur minyak (yang ada di perut bumi)

Kalau ten Hag bergaji 7,5 juta Pound/tahun maka pelatih Brentford, Thomas Frank cukup digaji seperlima-nya saja yaitu 1,5 juta Pound/tahun. Akan tetapi Thomas Frank dengan "pasukan sederhananya" itu mampu membawa Brentford duduk manis di posisi tiga klasemen sementara. ten Hag dengan pasukan kerennya itu justru membuat MU harus puas berada di posisi djoroe koentji!

***

Berkaca pada hasil pertandingan Brentford-MU tersebut, apakah masalah sebenarnya dari "laskar" ten Hag ini?

Pertama tentunya adalah Mental bermain.

Pasukan Brentford memasuki lapangan ibarat pengantin muda yang hendak naik ke pelaminan. Muda, agresif, percaya diri dan penuh gairah. Sembari menunggu "malam tiba," sang pengantin ikut berjoged, bersenang-senang dengan menikmati alunan musik yang menghentak-hentak. Jadi kata koentjinja adalah, ada gairah, bersenang-senang dan bisa menikmati pertandingan itu sendiri.

Sebaliknya "laskar" MU masuk ke lapangan dengan kondisi tidak siap tempur. Mereka seperti tidak fokus bermain. Entahlah, mungkin mereka menganggap remeh pasukan Brentford ini.

Dua gol pertama Brentford adalah mutlak kesalahan de Gea yang tidak fokus. Dua gol mudah ini kemudian meruntuhkan mental para pemain MU. Dari sini jelas terlihat kalau pemain-pemain MU itu tidak dipersiapkan dengan kemungkinan skenario terburuk yang bisa saja terjadi di lapangan.

Kedua, taktik/strategi bermain.

Tim seperti Brentford tentunya bermain dengan skema sederhana. Brentford bermain dengan sistim Low-block dengan menempatkan lima pemain di belakang. 

Tiga pemain di tengah adalah gelandang box to box yang cenderung bertipe DM (gelandang bertahan) sebagai filter pertama lini pertahanan. Brentford tidak memakai seorang playmaker karena Brentford menerapkan pola direct football, dimana dari belakang bola langsung dikirim ke depan terutama dalam skema fast-break.

Disiplin menjaga area sendiri tentunya menjadi syarat mutlak dalam skema zonal marking ala Brentford ini. Tidak ada pemain yang secara khusus akan "menguntit" seorang Ronaldo misalnya. 

Namun pelatih tentunya tidak akan mengizinkan pemain lawan boleh bebas memasuki kotak penalti sendiri. Prinsipnya "orang boleh lewat, tapi bola jangan!" Prinsip sederhana ini ternyata bisa membuat gawang Brentford tetap perawan hingga akhir laga.

Pelatih Brentford, Thomas Frank tentunya mafhum kalau anak-anak asuhnya ini bukanlah pemain top yang punya skill mumpuni. Jadi Ia menerapkan skema high-pressing untuk meredam serangan lawan, yang sekaligus juga dipakai mencari peluang menyerang balik. Selain itu Ia juga memanfaatkan bola-bola mati sebagai peluang untuk mencari gol. Tentunya kecepatan juga menjadi syarat utama lainnya.

Mari kita lihat gol-gol yang dilesakkan oleh Brentford ini. Gol pertama adalah murni kesalahan de Gea yang tidak akurat mengamankan bola. Gol kedua adalah berkat highpress yang diterapkan Mathias Jensen terhadap Eriksen. Jensen kemudian dengan mudahnya bisa melesakkan gol ke gawang de Gea.

Gol ketiga adalah berkat bola mati (korner) yang selalu dilatih oleh pemain-pemain Brentford. Gol ini asli bergaya old-school. Bola dari korner terlebih dahulu diumpan ke tiang jauh, lalu diumpan balik ke tiang dekat, dan gol! 

Coba lihat tatapan mata de Gea. Ketika bola korner melambung melewatinya ia kemudian bergerak pelan ke kanan, eh tiba-tiba bola berbalik lagi ke kiri. Ia kemudian bergerak pelan ke kiri. Eh, ia kemudian harus berbalik ke belakang! Rupanya gawangnya sudah dibobol mas Ben Mee tanpa ia sempat bereaksi!

Gol keempat adalah fast-break bergaya tim gurem. Di dalam kotak penalti sendiri, bek Brentford kemudian berhasil merebut bola dari kaki Sancho. Ia kemudian membuang bola jauh ke depan ke arah sisi kanan pertahanan MU. Ini pemain cerdas pakai banget! Kalau ia membuangnya ke arah tengah, pastilah akan gampang diamankan kiper.

Striker Ivan Toney kemudian berlari ke arah bola menyusuri sisi kanan MU. Dari arah belakang, tiga pemain MU berusaha mengejar Toney untuk menutup pergerakannya. 

Dengan sekali sentuhan, Toney kemudian mengirim bola ke tengah di mana Bryan Mbeumo berlari dikejar Luke Shaw. "Untung tak dapat diraih Malang itu adanya di Jawa Timur." Shaw kalah cepat dan Mbeumo dengan sekali sontekan kemudian membobol gawang de Gea. Thomas Frank 4, Erik ten Hag 0.

 Sumber: hfpl360.com
 Sumber: hfpl360.com

Lalu bagaimana dengan taktik ten Hag sendiri?

Bermain dengan pola 4-3-3, ten Hag kali ini memakai seorang DM (Fred) saja, lalu menduetkan Eriksen dan Fernandes sebagai AM (gelandang serang) Tujuannya tentunya untuk memaksimalkan serangan. Akan tetapi semua serangan MU ini harus kandas oleh rumah lapis eh dwi lapis pertahanan grendel Brentford. Tiga gelandang box to box sebagai lapis pertama dan lima defender di lapis terakhir.

Sepanjang pertandingan MU hanya empat kali saja mampu melakukan attempt on target lewat sundulan Ronaldo dan Eriksen. Itupun sangat lemah sehingga gampang sekali diamankan kiper. 

Selain itu para pemain MU ini miskin kreativitas untuk membongkar pertahanan Brentford. Padahal skill dari trio penyerang plus duet Eriksen dan Fernandes sebenarnya lebih dari cukup untuk membobol pertahanan Brentford ini.

Masalahnya cuma satu. Mereka ini tidak kompak dan kurang sabar. Salah satu cara terbaik untuk membongkar pertahanan low-block adalah dengan menerapkan passing cepat diikuti dengan pergerakan/rotasi dari pemain, dengan atau tanpa bola, lalu kemudian diakhiri dengan through ball (umpan terobosan) ke area kosong yang ditinggal oleh bek lawan.

Ini mirip-mirip dengan gaya tiki-taka ala Barca (dulu) ketika membongkar pertahanan rapat lawan. Secara materi, Ronaldo, Rashford, Sancho, Fernandes dan Eriksen jelas-jelas mampu melakukannya.

Ini tentunya harus sering-sering diasah dalam latihan. Dalam pertandingan kemarin pemain MU terlihat lebih mengandalkan skill individu saja untuk membongkar pertahanan lawan. Dan hasilnya gagal total karena pemain lawan menerapkan sistim pertahanan "secara berjamaah," bukan individu!

Pertahanan MU juga terlihat sangat buruk sekali. Ten Hag terlalu berani menurunkan bek baru, Martinez dalam pertandingan ini. Terlepas dari kesalahan de Gea, akan tetapi pada gol pertama, Martinez jelas gagal memblok tendangan Dasilva.

Pada gol ketiga, Martinez memang terlihat "kurang tinggi" untuk bisa membuang umpan dari Toney. Ia pun hanya bisa pasrah ketika Mee berhasil menjangkau bola, lalu mencetak gol bagi Brentford.

Pada gol keempat, Martinez sebagai bek tengah jelas-jelas out of position, membuat Mbeumo bisa melesakkan gol dengan mudahnya. Di babak kedua ten Hag kemudian menyadari kekeliruannya. Martinez kemudian digantikan oleh Raphael Varane.

Pertahanan garis tinggi ala ten Hag juga membawa tjelaka! Pemain belakang MU itu mager, kurang disiplin dan sering out of position. Pertahanan model begini jelas-jelas rawan dibobol lawan.

Satu hal lagi, ten Hag ini tampaknya tidak punya "plan B" atau rencana cadangan. Ibarat mobil, ten Hag ogah punya ban serap. Padahal bannya pun bukan jenis RFT (Run Flat Tyre) yang tetap bisa berjalan walau dalam keadaan kurang angin. Bahkan "ban mobil" ten Hag terdeteksi memakai ban dalam. 

Artinya kalau terkena paku, pasti langsung kempes! Akhirnya dalam perjalanan dari Manchester menuju London, ban mobil ten Hag empat kali digembosi paku Brentford! Hahaha

Dalam waktu 35 menit saja gawang MU sudah kebobolan empat kali. ten Hag sebenarnya masih punya waktu 55 menit plus 5 menit extra time untuk mengubah hasil pertandingan. Namun ternyata ten Hag tidak punya rencana cadangan untuk itu. Pemain-pemain MU tetap saja bermain dengan pola/ritme yang sama. 

Tiga kartu kuning di babak kedua plus sebuah di babak pertama jelas menunjukkan betapa frustasinya para pemain MU ini dengan strategi bermain mereka sendiri.

Pemain-pemain Brentford merayakan gol, Sumber: Brentford's  (Twitter/SkyBetChamp via indianexpress.com)
Pemain-pemain Brentford merayakan gol, Sumber: Brentford's  (Twitter/SkyBetChamp via indianexpress.com)

Ketiga, EPL (Liga Inggris) bukanlah Eredivisie (Liga Belanda)

Ten Hag bersama Ajax adalah pelatih sukses di Liga Belanda. Ngemeng-ngemeng, sejak anda lahir, pernahkah anda melihat Ajax, PSV atau Feyenoord berada di papan bawah klasemen?

Terlepas dari siapa yang melatih ketiga klub ini, ketiga klub mentereng liga londo ini akan selalu berada di tempat terhormat Eredivisie.

Salah satu penyebabnya adalah karena para bocah-bocah berbakat dari negeri kumpeni ini akan selalu lebih memilih ketiga klub ini daripada klub lainnya. Bisa ditebak, hasilnya ketiga klub besar ini akan selalu punya stok pemain-pemain berbakat untuk diorbitkan kelak. Dan sebaliknya, klub-klub semenjana lainnya "cuma" akan memiliki bakat-bakat kelas dua saja. Belum lagi kalau kita berbicara soal dana sponsor dan pembagian "Hak siaran televisi" yang tidak sama antara klub besar dan klub gurem, membuat perbedaan semakin tampak jomblang.

Liga Inggris jelas berbeda, walaupun perbedaan finansial antara klub kaya dan klub kecil terlihat jelas. Contohnya seperti penggajian para pemain klub MU ini, yang terkesan seperti tidak masuk akal. Namun seperti yang sudah dibahas di atas, besar/kaya ternyata tidak selalu linier dengan prestasi!

Ternyata ada hal lain yang tidak selalu bisa dibeli dengan uang. Salah satunya adalah "Pride," rasa bangga sebagai "member of the club," yang lebih berorientasi kepada wilayah/jati diri klub itu sendiri.

Wayne Rooney adalah penduduk kota Liverpool yang kala itu bermain dengan klub Everton. Namun sampai mati pun Rooney tidak akan mau bergabung dengan klub rival sekota, Liverpool, walaupun dibayar mahal.

Matthew Le Tessier (salah satu pemain pujaan penulis) sampai akhir karirnya hanya bermain untuk Southampton. Musim 1993/1994 Le Tessier menjadi pencetak gol terbanyak klub dengan torehan 25 gol. Chelsea dan Blackburn kemudian bersiap untuk memecahkan rekor transfer pemain EPL, tapi Le Tessier tetap lebih memilih Southampton sampai akhir karirnya!

Berlaga di piala FA adalah salah satu contohnya. Banyak klub besar harus terjungkal ketika menghadapi "klub receh" dari kasta kedua Liga Inggris.  Spartan, keras, cepat, dan punya determinasi tinggi menjadi modal utama klub-klub gurem (termasuk Brentford ini) ketika bertemu dengan klub besar. Tanpa taktik yang tepat, sudah pasti klub besar (seperti Emyu ini) akan menderita digilas oleh tim gurem! Hal seperti ini memang belum pernah dialami ten Hag sebelumnya...

Wellcome to the EPL meneer ten Hag

Referensi,

http://www.idezia.com/2020/06/ENG.Salary.Team.15.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun