Yang paling bahagia tentunya para petani sawit, Perkebunan sawit milik negara dan korporasi swasta raksasa karena mendapat rezeki nomplok berkat krisis minyak nabati dunia.
Enaknya lagi CPO ini biasa diperdagangkan bahkan untuk pengiriman enam bulan ke depan, dan pengirim (shipper) sudah bisa menikmati cash (lewat L/C) enam bulan sebelum barang dikirimkan. Begitulah aturan main komoditas perkebunan (CPO, karet, teh tembakau) ini bahkan sebelum negeri ini merdeka. Jadi bermodalkan L/C, pengusaha PKS mendapat dana dari bank untuk kemudian dipakai meng-ijonkan petani/pengusaha sawit.
Jadi harga TBS Sawit, CPO, Minyak goreng dan produk turunannya murni mengikuti Mekanisme Pasar, dan mustahil pemerintah bisa mengendalikannya. Yang bisa dilakukan pemerintah selama ini adalah mengontrol kebutuhan dalam negeri lewat mekanisme DMO (Domestic Market Obligation)
Sebelumnya angka DMO adalah 20% dimana eksportir wajib menjual 20% dari total ekspornya untuk kebutuhan di dalam negeri. Ketika terjadi krisis migor, pemerintah kemudian menaikkan angka kewajiban DMO ini menjadi 30%, dan migor tetap langka juga. Hahaha. Lantas dimana letak persoalannya?
Merujuk kepada data ekspor CPO dan produk turunannya tahun 2021 lalu sebesar 34,2 juta ton, maka dengan angka DMO 20% saja suplai CPO dalam negeri berkisar 6,84 juta ton. Ini jelas sudah cukup mengingat kebutuhan dalam negeri berkisar angka 6 juta ton saja.
Akan tetapi, selain menaikkan angka DMO, Kemendag (Kementerian Perdagangan) juga mengeluarkan DPO (Domestic Price Obligation) CPO sebesar Rp9.300/kilogram. Inilah yang kemudian menjadi penyebab migor "tersipu malu untuk kemudian tidak berani menampakkan batang hidungnya kepada masyarakat!"
Betapa tidak, coba bayangkan seandainya anda seorang eksportir CPO. Anda punya stok seribu ton. Lalu ada importir yang meminta 5.000 ton. Anda kemudian hanya bisa menjual 800 ton dengan harga Rp 18.500/kg FOB Pelabuhan. Lalu sisa 200 ton lagi (sesuai ketentuan DMO) anda harus jual ke pabrik migor dengan harga Rp9.300/kg. Reaksi anda pertama tentulah anda akan berseru, "Anj-ng!" atau "Kam-ret!"
Dalam dunia bisnis tanah air yang banyak "gradasi warnanya," maka akan timbul "dusta diantara kita." Pertama, apakah anda yakin CPO yang diterima pabrik migor itu akan diolah menjadi migor seharga Rp 14.000 (sesuai HET, dikurangi biaya produksi, transportasi dan keuntungan penjual) atau dijual saja kepada pihak ketiga dengan harga Rp 16.000/kg, bahkan sebelum truk CPO itu tiba di pabrik migor!
Kedua, eksportir tadi bisa saja punya perusahaan migor abal-abal, dan seakan-akan sudah menerima 200 ton CPO tadi. Padahal eksportir tadi tetap mengekspor seribu ton CPO tadi. Atau bisa saja banyak perusahaan migor skala kecil yang menerima "jastip" (jasa titipan) stempel/faktur penerimaan CPO seharga Rp 2.500/kg. Akhirnya migor tetap saja menghilang dari pasar.
Kebijakan DPO ini jelas-jelas tidak efektif. Kemendag seharusnya lebih peka mengurus regulasi perdagangan, dan harus bisa bernalar seperti "seorang pedagang Indonesia sejati."
Pedagang Indonesia itu hebat, tidak lekang oleh panasnya mentari dan tidak mudah luntur oleh dinginnya malam. Ia laksana air yang pasti akan selalu turun ke bawah. Tak peduli dengan banyaknya hambatan (regulasi) ia akan selalu memanfaatkan setiap celah agar bisa sampai ke bawah. Hahaha.
DPO bisa diterapkan kalau memang Pemerintah (lewat Bulog) mau menyanggah CPO seperti beras. Namun apakah Bulog mampu melakukannya dengan baik? Tanpa bermaksud merendahkan Bulog, rasanya mustahil. Pedagang bukanlah spekulan! Pedagang membutuhkan situasi kondusif, kestabilan dan regulasi yang mendukung demi lancarnya perdagangan.