Sama halnya seperti berciuman, cupang juga rentan terhadap penularan berbagai penyakit seperti herpes simplex, hepatitis B, flu, virus, parasit dan juga bakteri. Selain saliva, jigong yang terdapat pada sela-sela gigi bisa saja mengandung bakteri.Â
Jadi sebelum melakukan aktivitas ini sebaiknya terlebih dahulu menjaga kebersihan mulut lewat sikat gigi dan berkumur dengan antiseptik.
Pastikan juga yayang anda itu tidak terkena rabies yang bisa saja menularkannya lewat cupang tadi.
Satu hal lagi, cupang, terutama di leher pastinya membuat darah menggumpal (blood clot) yang sewaktu-waktu bisa rupture (pecah) dan kemudian terlepas.Â
Pecahan darah yang lepas tersebut kemudian bisa saja menyumbat pembuluh darah ke otak (emboli). Sumbatan ini bisa menyebabkan stroke yang berujung pada kematian!
Dengan bertambahnya usia maka otomatis lapisan kulitpun kehilangan elastisitas/kekenyalannya. Kulit menjadi lebih tipis dan pembuluh darah semakin rapuh. Â Akibatnya cupang inipun menjadi lebih mudah terlihat. Untuk itu disarankan agar "anak-anak muda" berusia 60 tahun ke atas sebaiknya tidak usah cupang-cupangan lagi.
Selain membahas dari sisi ilmiah populer, Kamasutra juga membahas fenomena cupang ini dari sisi psikologi kelirumologi. Cupang yang lazim juga disebut "gigitan cinta" ini pastinya disertai dengan gairah/hasrat yang tinggi dari si pelaku. Bagi sebagian orang fenomena ini dianggap sebagai representasi cinta/kasih sayangnya bagi "si korban."
Akan tetapi ada juga si korban yang merasa bukan menjadi korban dari "vandalisme cinta" ini. Mungkin prinsipnya, "aku rela sengsara asalkan kau bahagia,"
Menariknya lagi Kamasutra menjelaskan fenomena cupang ini dari sisi teritorial yang umumnya dipakai binatang sebagai penanda hegemoninya atas suatu wilayah maupun entitas.
Dalam contoh di atas hal ini jelas sekali terlihat. Echa yang memberi "cupangan bertubi-tubi" kepada Karel adalah untuk menunjukkan hegemoninya atas "tubuh" Karel kepada para pesaing maupun calon pesaingnya.