Logikanya lahan pertanian itu setiap tahunnya pasti menyusut tersebab pembangunan perumahan, sekolah, pabrik dan infrastruktur seperti jalan tol, waduk/bendungan, dan lain sebagainya.
Selain itu kita juga tidak punya data berapa produktivitas panen gabah per hektarnya. Akhirnya jumlah hasil panen pun tidak pernah diketahui angka pastinya.
Sama seperti tahun 2018 lalu, kegaduhan impor beras ini bermula dari Bulog sendiri yang keberatan untuk melakukan impor beras. Dilansir dari CNN Indonesia Selasa, 16/03/2021 lalu, Buwas mengatakan, "Data BPS menyampaikan Maret, April, Mei itu surplus. Itu yang kami jadikan pedoman. Sehingga saat kita rakortas (rapat koordinasi terbatas), kita tidak memutuskan impor. Hanya, kebijakan Pak Menko dan Pak Mendag, kami akhirnya dikasih penugasan tiba-tiba untuk melaksanakan impor."
Sama seperti tahun 2018 lalu kekesalan Buwas ini adalah terkait gudang Bulog yang tak mampu menampung beras impor itu nantinya. Dengan demikian Bulog terpaksa harus menyewa gudang yang tentunya akan menambah biaya bagi Bulog.
Selain itu Buwas juga sedikit trauma terkait impor beras sebesar 500 ribu ton pada akhir 2018 lalu. Dengan impor tersebut, stok beras Bulog menjadi sebesar 3,1 juta ton. Namun, dalam proses perjalanannya tiba-tiba awal 2019 pemerintah memutuskan tak ada bansos rastra. Akibatnya Bulog kemudian gelagapan untuk menjual beras tersebut.
Dari uraian di atas kita jadi paham mengapa Bulog menolak ide impor ini, yaitu karena mereka trauma pada kebijakan pemerintah sendiri terkait BPNT (Bantuan pangan Non Tunai) yang berubah-ubah itu. Namun pada saat pandemi sekarang ini Bulog sebenarnya tidak perlu khawatir soal penyaluran beras mereka sebab BPNT kini melibatkan Bulog juga.
Polemik impor beras ini tadinya adalah murni kepentingan ekonomi/bisnis semata, tapi kemudian melebar menjadi komoditas politik.
Dunia ini panggung sandiwara kata sebuah lagu. Beras memang komoditas seksi yang bisa menarik perhatian puluhan juta warga. Akan tetapi kita tidak tahu persis apa kepentingan para politisi maupun pejabat yang berbicara soal beras dalam pandangan mereka yang sempit itu. Apalagi mereka ini juga tidak menawarkan sebuah solusi.
Ibarat celana dalam yang tersembunyi di balik pakaian luar, kita tidak pernah tahu apakah para politisi itu memakai celana dalam atau tidak. Apakah celana dalamnya berwarna hitam atau tidak. Apakah celana dalamnya sering diganti atau hanya dibalik dari "side-A ke side-B" saja.
Mungkin yang palingtahu adalah selingkuhan mereka itu sendiri, hahaha...
Buat yang di hati, salam sayang selalu