Namun semuanya itu ternyata tidak cukup untuk membiayai hidupnya. Bahkan uang tabungannya sejak dulu pun sudah hampir habis terpakai. Â
Henry sudah tak kuat lagi menanggung semuanya. Dia ingin berhenti saja, dan melupakan cita-citanya menjadi seorang dokter. Tetapi bayangan wajah mamanya selalu menghantuinya. Bayangan bubur encer dengan sebutir telur dibagi tiga itu juga selalu menghantuinya. Betapa beratnya hidup menjadi orang miskin, apalagi kalau tidak memiliki skill...
Bekerja hingga larut malam membuat tubuh Henry sangat letih. Ketika belajar di kampus keesokan harinya, dia pun jadi susah untuk fokus karena badannya sudah terlalu letih. Ketika mereka belajar anatomi, yang terlihat oleh matanya hanyalah bayangan sebuah bantal guling... Praktis tidak ada waktu istirahat baginya.
Sabtu dan Minggu adalah hari bermain bagi anak mahasiswa. Sebagian dari mereka itu menghabiskan waktu dengan pacar atau melakukan sesuatu kegiatan yang menyenangkan.
Tapi bagi Henry, kedua hari itu adalah hari baik untuk bekerja. Dia tidak punya teman bermain, apalagi seorang pacar. Â
Lengan kekarnya itu pun masih perawan, belum pernah merasakan cubitan dari seorang gadis manapun. Alamak!
-(bersambung)-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H