Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Risma, "Perawan di Sarang Penyamun"

28 Januari 2021   01:10 Diperbarui: 28 Januari 2021   01:34 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Balada Pisang Goreng

 Gandhi, "Pisang goreng itu sama seperti martabak, dan menjadi simbol perlawanan rakyat melawan imperialisme tanpa kekerasan"

Setnop (dalam lakon papa minta pisang goreng)  "Tadinya Pisang goreng itu mau kita amandemen, trus kita ajukan ke Istana supaya dibuat perpu dalam bentuk saham gitu, yah saya minta 10% aja, gitu hehehe.."

Ridwan Kamil (Arsitek), "Kalau pisang goreng itu kita proyeksikan, maka kita akan mendapat gambaran yang berbeda dari tampak depan, belakang, samping dan atas, tanpa mengurangi rasa dan makna dari pisang goreng itu sendiri"

 Ruhut Sitompul, "Memang pak Jokowi yang saya hormati itu benar-benar hebat, ini macam! Bukan kayak kawan kita itu. Mau semua pulak dipegangnya, terpegangnya pulak pisang goreng, padahal panas barang tuh, hahaha.."

 Reinhard, "Pisang goreng itu seperti cinta, seribu kata tak cukup 'tuk mengungkap misterinya. Dia hanya bisa dirasa dan dinikmati. Materinya tinggal diperut tapi sensasinya singgah dihati"

 Gus Dur, "Pisang goreng adalah makanan rakyat jelata, ya mbok gak usah di politisir kemana-mana. Gitu aja koq repot"

Mungkin sudah suratan takdir kalau jabatan Menteri Sosial itu akan selalu menimbulkan kegaduhan sosial di mata netizen +62.

Setelah era Mensos Juliari berlalu di rutan KPK, kini datang pula Mensos era New-normal, Tri Rismaharini membawa dimensi baru. "Sekali tepuk dua lalat sekarat, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui."

Rupanya blusukan Risma ke beberapa tempat di wilayah hukum DKI Jakarta kemarin itu membawa polemik.

Bagi pemakai kaca mata bening, blusukan ini dianggap sebagai hal yang wajar saja, sebab Risma itu memang akrab dengan blusukan semasa menjabat sebagai Walikota Surabaya dua periode.

Bagi pemakai kaca mata burem, blusukan ini dianggap sebagai penghinaan kepada alat negara, mulai dari gubernur, walikota, pamong praja hingga Ketua RT!

Lha, wong Jakarta ini sudah auto pilot, semuanya sudah tertata rapi dengan sendirinya. Keamanan dilengkapi dengan CCTV canggih plus Satpol PP yang selalu memantau situasi ibukota 24 jam sehari.

Jadi kalau katanya ada gepeng (gelandangan pengemis) rebahan di kolong Sudirman, itu adalah sebuah hil yang mustahal. Jangan-jangan oknum gepeng itu adalah anggota PKI, ISIS, Al Qaeda, CIA, KGB atau antek asing-aseng yang ingin membuat kegelisahan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Atau mungkin juga itu cuma produksi sinetron saja. Judulnya, "Azab Juragan Kasur Durhaka, Masa Tuanya Tidur Di bawah Kolong Jembatan."

Memang sudah lama tidak ada acara blusukan di Jakarta, karena dianggap terlalu mainstream. Kalau tidak salah, terakhir kali itu dilakukan Gubernur Jokowi. Eits, tunggu dulu. Jangan-jangan Risma ini memang punya niatan pula untuk berkantor di Balai Kota, lalu setelah itu menyeberang ke Istana Negara!

Nah kalo sudah begini dan begitu, si empunya Jakarta wajib kudu waspada terhadap geraan-geraan terstruktur, terpola dan tematik yang bisa menimbulkan kegaduhan baru pula di Jakarta.

Namun, terlepas dari polemik blusukan tadi, pertemuan Risma dengan gelandangan tadi akhirnya mengungkap sebuah temuan baru. Gelandangan tadi ternyata tidak memiliki KTP/kartu identitas.

Kalau ia tidak memiliki KTP, maka ia tidak akan terdata di RT atau Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) termasuk juga di Imigrasi!

Karena tidak terdata, maka ia tidak akan pernah mendapat bantuan sosial dari kemensos! Jadi ia akan tetap miskin dan stateless pula! Itulah sebabnya ia menggelandang! Orang-orang seperti ini biasanya justru selalu diuber-uber satpol PP, bukan malah dibantu!

***

Tugas Kementerian Sosial itu adalah menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Demikian pula dengan tugas Kepala Dinas Sosial Tingkat I yang bertanggung jawab kepada Gubernur, maupun Kepala Dinas Sosial Tingkat II bertanggung jawab kepada Walikota/Bupati.

Dari satu sisi, blusukan Risma ini dianggap berbau politis karena blusukan di wilayah hukum Jakarta itu merupakan tupoksi Dinas Sosial DKI Jakarta. Namun Risma menolak mentah-mentah tuduhan tersebut.

Rupanya dalam suatu kali perjalanan ke kantor, Risma melihat ada gelandangan di kolong jembatan. Risma berhenti lalu berbicara dengan gelandangan tersebut. Itu saja, sesederhana itu.

Namun Wagub Jakarta tidak melihatnya sesederhana itu, sebab sejak beliau ini duduk di kelas empat SD, ia tidak pernah melihat ada gelandangan tidur di jalan Sudirman. Entahlah pada jam-jam berapa biasanya Pak Wagub ini sidak ke jalan Sudirman untuk mendata gelandangan-gelandangan tersebut.

Sama seperti banci, parkir liar maupun pelacur jalanan, gepeng juga suka main kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum. Jadi eksistensi mereka ini antara ada dan tiada, mirip-mirip dengan jatuh cinta, tak terlihat namun terasa di dada.

Nah, kalau sudah begini urusannya kan jadi runyam?

Risma melihat gelandangan lalu berhenti dan berbicara. Wagub tidak pernah melihat gelandangan, trus gelandangan tadi dari mana datangnya? "Apakah dari sawah turun ke kali?"

***

Ini adalah salah dua dari persoalan yang harus bisa diatasi Risma ketika "merantau" ke Jakarta.

Persoalan pertama tentunya adalah memperbaiki kinerja Kemensos yang menjadi tugas pokok Risma sebagai pejabat Mensos yang baru. Tugas ini sangat berat karena kredibilitas orang-orang di kementerian ini sering diragukan. Padahal saat ini banyak sekali warga terdampak pandemi yang membutuhkan bantuan sosial dari Kemensos.

Pastinya orang tidak akan bisa bertepuk sebelah tangan. Atau orang Batak bilang, "It takes two to Tango." Orang tidak akan bisa berdansa Tango sendirian saja, selalunya perlu pasangan.

Apakah ada yang yakin kalau Juliari Batubara "bersolo karir" saja dalam kasus OTT KPK kemarin itu.

Nah, hal ini yang perlu disadari oleh Risma, karena sama seperti hama yang menyerang pohon mulai dari akar, batang hingga daun, maka para "pengerat" inipun hadir pula di semua lini, mulai dari halaman parkir hingga rooftop gedung Kemensos!

Kuat dugaan pejabat lama itu tergelincir karena tidak kuat menahan godaan yang sporadis terus-menerus dihembuskan oleh orang-orang di dekatnya. Atau bisa juga beliau itu takut/permisif melihat situasi buruk yang terjadi di Kemensos.

Indonesia yang heterogen tentulah bukan Surabaya yang sedikit lebih homogen, dimana persoalan yang dihadapi sangat beragam, terutama validitas data warga yang terdampak.

Nah masalah data ini memang penyakit yang sampai sekarang belum bisa diatasi. Selalu ada deviasi data lintas instansi/departemen. Bahkan data di dalam satu instansi sendiri bisa berbeda, terkait kepentingan sipembuat data. Apalagi data-data itu tentunya selalu dinamis mengikuti angka kelahiran/kematian dan perpindahan dari warga itu sendiri.

Namun penulis percaya Risma akan bisa memperbaiki sistim pendataan di Kemensos ini berkat pengalamannya sebagai Walikota Surabaya dua periode.

Tentunya tidak gampang, tetapi akan bisa kalau ada niat yang teguh untuk memperbaiki kekurangan yang ada, termasuk bersikap tegas terhadap bawahan yang coba-coba berbuat nakal.

Satu hal lagi, Risma adalah orang pilihan presiden, sedangkan pejabat lama adalah titipan parpol. Jadi Risma harus percaya diri akan bisa melaksanakan amanah dari presiden untuk memperbaiki kinerja Kemensos ini.

***

Persoalan kedua adalah karena kantor Kemensos itu ada di Jakarta, bukan di Solo atau Surabaya. Kalau kantor gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah itu di Jakarta, maka nasib Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo akan sebelas dua belas juga dengan Risma. Apalagi ketiga orang ini punya potensi menjadi saingan dari "abang sebelah" menuju istana negara.

Persoalan kedua ini sebenarnya terkesan "remeh-temeh," karena masalah sebenarnya tidak ada, tetapi justru direkayasa sedemikian rupa sehingga terjadi perang opini di sosmed.Padahal di alam nyata sendiri, semuanya tetap berjalan dengan santuy.

Memangnya ada wacana debat terbuka antara Risma dengan Anies perihal keberadaan gelandangan di Sudirman tadi? Kan tidak ada. Yang ada justru perang diantara buzzer sendiri.

Perang opini itu memang identik dengan kucuran "Rp," baik secara langsung maupun lewat AdSense.

Jakarta itu memang sarang penyamun karena banyak "penyamun" (buzzer) mengais rezeki dengan cara membully orang lain demi kepentingan majikan maupun kepentingan konten pribadinya sendiri.

Cari makan dengan cara begitu memang tak ada bedanya dengan cara kerja para penyamun di Selat Malaka dulu.

Nah, untuk menghadapi para buzzer ini, Risma sebaiknya tidak usah menanggapinya. Sekalipun ia misalnya memang punya misi khusus untuk perhelatan Pilgub DKI Jakarta maupun Pilpres 2024 nanti.

Kan tidak ada salahnya juga, sambil menyelam minum air. Jadi Ibu Risma rajin-rajin saja blusukan ke seantero DKI Jakarta agar sang bos lebih kreatif lagi, agar tidak hanya bisa sekedar mengecat atap genteng doang...

Salam sayang selalu,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun