dear, Pak Tjip dan Ibu Lina yang berbahagia.
Salam sejahtera Pak Tjip dan Ibu Lina, sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan yang ke-56 buat bapak dan ibu.
56 tahun tentunya adalah hal yang sangat luar biasa mengingat bapak dan ibu sudah menikah ketika saya belum lahir. Bahkan mungkin sebagian dari Kompasiner ini bapak dan ibunya belum lahir ketika Pak Tjip dan Ibu Lina menikah (wkwkwk)
Sulit membayangkan bagaimana caranya merawat suatu hubungan selama 56 tahun. Tentulah banyak rasa asam, asin, pahit, sepet yang dirasakan selama mengarungi waktu yang panjang tersebut.
Akan tetapi ketika berada di tangan koki yang tepat, keempat rasa yang tidak enak itu justru bisa menjadi rasa yang maknyus nan menggoda pula.
Seiring berjalannya waktu, agaknya Pak Tjip dan Ibu Lina sudah menjadi “koki” yang handal pula. Itulah sebabnya 56 tahun itu bisa terlewati dengan aman sentosa. Selamat buat bapak dan ibu berdua.
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia pergi meninggalkan legacy.
Saya sungguh beruntung selama hampir lima tahun ini bisa menikmati pelajaran penting yang bisa saya nikmati lewat tulisan-tulisan Pak Tjip dan Ibu Lina berdua di Kompasiana.
Apa sajakah itu?
Pertama, adalah kesederhanaan.
Artikel Pak Tjip dan Ibu Lina itu sederhana dan ditulis dengan cara yang sederhana pula. Ini sangat penting, sebab tujuan utama dari tulisan itu adalah agar ide/pesan dari penulis bisa cepat sampai dan dimengerti oleh pembaca.
Bukan rahasia lagi kalau di Kompasiana kita ini banyak ide/pesan penulis yang tidak sampai kepada pembaca. Mengapa begitu? Sebab ditulis dengan cara dan bahasa yang rumit. Atau ide/pesannya itu sendiri terlalu rumit sehingga penulisnya sendiri kebingungan untuk menyampaikan ide rumit tersebut kepada pembaca.
Membaca tulisan begini, biasanya saya akan mencoba merem, lalu berusaha menghubungi si-penulis lewat telepati. Umumnya gagal karena memang tidak ada koneksi sama sekali. Namun setidaknya saya akan menandai sipenulis agar jangan sampai saya harus membaca tulisannya kelak. wkwkwk
Kedua, komitmen
Waktu akan berlalu, musim akan berganti. Kulit akan menjadi keriput dan cinta pun akan luntur. Kecocokan akan menghilang dan kekuatan akan menjadi semakin lemah. Akan tetapi komitmen akan tetap mampu mengatasi semuanya itu. Karena komitmen selalu menimbulkan harapan, harapan semuanya pasti akan baik-baik saja!
Komitmen mungkin buta, tetapi ia selalu mampu melihat di kegelapan! Dia hanya dapat melihat di kegelapan itu, kalau matanya memang benar-benar “buta sama-sekali!”
Sebab kalau mata selalu “melek,” maka rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau! wkwkwk
Tampaknya rahasia awet berumah-tangga itu bisa pula diaplikasikan ke dalam tulisan, terutama oleh pak Tjip sendiri. Delapan tahun bercokol di Kompasiana, pak Tjip sudah menulis artikel sampai lima ribuan lebih. Padahal saya yang jauh lebih muda, hanya mampu menulis empat ratus artikel selama hampir lima tahun, wkwkwk. Rasa bosan memang selalu menjadi kendala utama.
Tanpa komitmen hal itu pasti akan sulit dilakukan. Semoga saja ilmu pak Tjip ini bisa menular kepada saya, mungkin belum sekarang tapi nanti saja, hehehe…
Ketiga, sayang sepenuh hati.
Nah, ini termasuk yang paling seru. Urang awak bilang, “ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang.”
Pada zaman “matre bin hedon” sekarang ini orang tentunya gak mau diajak susah. “cape deh” katanya. Artinya di setiap relasi harus ada reward-nya. orang tidak mau merugi.
Tentunya hari tidak akan selalu cerah. Ada waktu tertawa dan ada waktu menangis. Demikian juga halnya dengan rezeki, yang bagi saya pribadi lebih banyak mendungnya daripada cerahnya, wkwkwk.
56 tahun itu artinya Pak Tjip dan Ibu Lina sudah lulus fit and proper test, dan sudah berhasil melewati ujian terbesar dalam berumah tangga.
Rupanya kiat jitu tadi Pak Tjip aplikasikan juga di “rumah tangga” Kompasina! Sependek pengetahuan saya, dua tahun terakhir ini, artikel Pak Tjip itu jarang masuk HL, atau kategori Artikel Utama.
Akan tetapi Pak Tjip santuy saja dan tetap setia menulis artikel setiap hari. Busettt…padahal banyak senior lainnya ogah menulis karena merasa dimusuhin oleh mimin yang pelit memberi label AU itu.
Resep Pak Tjip itu adalah sayang sepenuh hati, yaitu dengan terus menulis tanpa harus memperdulikan reward yang akan didapat. Salut!
Sebenarnya saya ingin menulis lebih banyak lagi, tapi saya takut Pak Tjip dan Ibu Lina akan bosen membacanya, wkwkwk.
Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak, tidak ada pula gundul yang tak botak. Demikian juga dengan tulisan ini yang jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu tulisan yang tidak sempurna ini saya tutup dengan doa dan harapan,
“Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah Bapa yang melampaui hati dan pikiran manusia, itulah yang selalu menyertai dan melindungi Pak Tjipta, Ibu Lina dan keluarga besar, di dalam Tuhan Yesus dan di dalam persekutuan dengan Roh kudus, Amin.”
Salam hangat selalu
Reinhard Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H