Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tunggu Tanggal Mainnya, Cluster New Cinema!

2 September 2020   16:45 Diperbarui: 2 September 2020   17:04 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang bioskop, sumber: nwpretail.com

Sebuah scene serem plus suara jeritan yang terkumandang dari speaker, membuat Butet mengalihkan perhatiannya dari layar. Butet kemudian menatap pasangan di pojokan itu dengan heran. 

"Tadi yang laki duduk di kanan, sekarang duduknya malah di kiri. Oh mungkin mereka tuker tempat.." bisik Butet geli. Sebuah adegan serem lainnya terpaksa membuat Butet harus mengalihkan wajahnya dari layar. 

Rasa takut nyaris membuat Butet meyembunyikan wajahnya ke dada Ucok yang kerempeng itu. Tapi Butet terpaksa harus mengurungkannya. Mereka belum jadian, dan Butet takut dianggap murahan...

Ketika Butet sekali lagi menatap ke pojokan itu, dia kemudian terkesima. Setelah dua kali berganti posisi duduk ke kiri ke kiri dan ke kanan ke kanan, kini pasangan tersebut terlihat "menyatu..."

("Pingsan Kabeh," Kompasiana 17 Februari 2018)

Apakah anda suka cipokan di bioskop? Atau setidaknya pernahkah dulu anda cipokan di bioskop? Dengan satu orang saja atau beberapa orang tidak masalah, tapi setidaknya pernahlah.

Menurut pengamatan seorang pakar cipokan, berciuman di bioskop itu punya nilai tersendiri. Suasananya gelap padahal tidak selalunya malam! Value-nyapun di atas kissing in the car atau around the garden. Namun nyaris setara dengan cipokan di ruang tamu ortu gebetan. Ini terkait risiko ketahuan sama ortu gebetan sendiri! Namun ada sedikit perbedaan diantara keduanya.

ketahuan cipokan di depan ortu gebetan biasanya akan berujung kepada berakhirnya Multiple entry visa. Namun kalau di bioskop nuansanya sedikit berbeda. Para senior biasanya hanya menunjukkan muka jutek pertanda dengki. Kaum junior biasanya menempelkan telapak tangan ke bibir sambil berharap nanti kalau sudah agak gedean bisa melakukan adegan yang lebih hot. 

Sebaliknya penyuka sesama jenis hanya bisa mengurut dada. Mereka ini jauh lebih atraktif dari kaum hetero, tetapi tidak ada yang memperhatikan mereka. Mungkin hanya seorang nenek tua saja yang tepergok. Namun alih-alih kagum, sinenek malah meludah sambil berkata, "najis!" Aduh nek, dibawah itu kapret bukan got!

*** 

Saat ini bioskop memang sedang mati suri setelah berhibernasi lebih dari setengah tahun. Namun cerita tentang bioskop ini kagak ade matinye. Tiga dekade lalu jaringan Cineplex merambah tanah air, membuat bioskop lawas empot-empotan. Kisah bioskop dengan kursi penuh kepinding-pun mendekati titik nadir. Apalagi distributor film juga bermain mata dengan jaringan bioskop moderen. Bioskop lawas itu tak diberi film-film baru. Akibatnya mereka hanya memutar film-film lawas Suzana ataupun film-film yang sudah habis hak ciptanya.

Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada yang baru "yang birupun jadi." Bioskop lawas itupun tak kekurangan akal untuk mencari jalan agar dapur bisa mengepul. Kisah Enny Arrow dan stensilan kemudian hadir di layar lebar. Dulu sering terlihat seorang anak muda tampak serius membaca sebuah buku pelajaran atau majalah. Tapi djangan terketjoh. Itu luarnya saja, padahal dalemannya adalah kitab Enny Arrow atau stensilan. Nah sejarah memang selalu berulang. Pengusaha bioskop lawaspun kemudian melakukan hal yang sama pula.

Awalnya yang diputar adalah film Suzana Ratu Pantai Selatan. Eh, di tengah jalan Suzana yang tadinya berkebaya dan berbahasa Sunda itu tiba-tiba meracau pakai bahasa Italia dengan rambut blonde terurai tanpa mengenakan sehelai benangpun! Adegan selanjutnyapun bisa ditebak karena alurnya sama seperti yang tersurat dalam kitab Enny Arrow tadi. Film tadi istilahnya ada "isinya."

Semua penonton kini menahan nafas. Mungkin saja mereka ini adalah penggemar bokep yang sering nobar menonton lewat layar tivi. Namun kini mereka takjub menonton dengan layar segede rumah perumnas itu! Jempol saja bisa terlihat setinggi lemari!

Tentu saja tidak semua penonton bioskop adalah penggemar "separuh nafas" maupun "nafas tertahan." Justru kebanyakan adalah penggemar bioskop sejati. Banyak orang mempunyai HT (Home Theatre) sendiri di rumahnya. DVD bajakan film tertentupun kadang sudah dijajakan di lapak pinggir jalan, padahal filmnya belum diputar di bioskop. Namun para penonton dan pemilik HT itu tetap saja sabar dan antri menunggu premiere film tersebut diputar di bioskop.

Pernakah anda tertidur atau melihat orang tidur di bioskop? Nah penulis sendiri pernah tertidur di bioskop. Ceritanya waktu itu penulis janjian dengan seorang teman di sebuah mall. Ternyata teman tadi tiba-tiba ada urusan mendadak dan diperkirakan paling cepat bisa tiba dalam waktu dua jam.

Kebetulan penulis kurang tidur pula karena kemarinnya dari luar kota. Apalagi penulis baru saja makan siang ditemani gulai kakap plus rendang. Anjai! Rasa kantukpun datang tanpa bisa ditahan.

Pergi ke bioskop akhirnya menjadi pilihan paling masuk akal. Beli tiket ngasal saja, seingat penulis tekapenya di studio 3. Benar saja. Sebelum filmpun dimulai, penulis sepertinya sudah langsung tertidur. Terbangun setelah film selesai, lalu dibangunin simbaknya yang tampak ketakutan karena melihat penulis seperti orang semaput. Padahal film yang diputar ketika itu adalah film thriller horor! Ternyata penulis tidak sendirian, sebab ada juga orang lain yang terciduk dalam keadaan ngorok.

Jadi karakter penonton Indonesiana itu memang macem-macem. Ada yang serius mau nonton. Ada yang pura-pura nonton tapi tidur. Sementara yang lain pura-pura nonton padahal buat film sendiri...

***

Setelah kita paham akan karakter penonton, tentunya kita akan tertarik untuk menelisik karakteristik dari bangunan bioskop itu sendiri. Hal ini tentu saja terkait dengan situasi pandemi covid-19 saat ini. Sama seperti ruangan studio musik, karaoke, dan lainnya, ruangan bioskop didesain dengan konsep tertentu yang celakanya menjadi tempat yang rawan dengan penularan virus.

Pertama tentunya ruangan bioskop di desain untuk tertutup rapat. Lantai karpet dan dinding yang dilapisi dengan peredam suara cenderung menjadi sarang yang nyaman bagi beberapa virus/patogen.

Sistim pendingin udara di ruangan tertutup juga menambah kekhawatiran. Pemasangan exhaust fan tidak akan banyak membantu. Apakah pihak bioskop mau memasang air purifier untuk setiap kursi penonton dan juga diffuser untuk ruangan bioskop?

Katanya protokol Kesehatan akan diterapkan di bioskop, termasuk pengaturan jarak antar penonton. Semua wajib pakai masker dan suhu tubuhnya diperiksa sebelum masuk ke dalam ruangan bioskop. Sebelum pertunjukan, petugas akan mendesinfektan ruangan bioskop. Catat yang disemprot adalah lantai, kursi, dan sebagian dinding. Lalu bagaimana dengan plafon setinggi enam meter itu?

Penularan Covid-19 dapat terjadi melalui droplet/kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, atau menyentuh benda/permukaan yang terkontaminasi. Droplet yang terlontar (termasuk dari Orang Tanpa Gejala) tidak seluruhnya jatuh ke permukaan. Sebagian lagi menguap lebih cepat dan dapat melayang di udara hingga setengah jam lamanya. Setelah bertemu dan terikat dengan uap/cairan dingin yang dihembuskan oleh pendingin udara dari plafon, maka aerosol (droplet yang tersuspensi di udara) tadi akan jatuh dan bisa saja menimpa penonton.

Please jangan suka menggampangkan segalanya. Dokter-dokter yang meregang nyawa karena Covid itupun terbiasa bekerja memakai tiga lapisan masker plus google/faceshield dan tutup kepala. Dua atau tiga lapis sarung tangan, hazmat hingga sepatu untuk proteksi. Namun merekapun bisa kebobolan juga. 

Saat ini kita mengalami lonjakan pandemi Covid-19. Bahkan Pemerintah Malaysia baru saja mengumumkan penutupan pintu masuk bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk juga bagi para pemegang PR (Permanent Residence) Student Pass, Professional Visit Pass dan juga Spouse Visa, yakni pasangan keluarga WNI-WN Malaysia!

Entah apa yang mau kita cari dengan ide pembukaan bioskop ini. Oke, mari kita hitung-hitungan secara bisnis. Berapa pajak/retribusi yang masuk ke kas Pemda? Berapa ribu tenaga kerja yang bisa diserap oleh bisnis bioskop ini?

Sekarang kita hitung mudaratnya. Tanggal 6 April 2020 lalu, Kementerian Keuangan mengeluarkan surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK.02/2020 sebagai pedoman bagi Rumah Sakit mengajukan klaim ke Kementerian Kesehatan untuk mengganti biaya perawatan pasien Covid-19.

Surat ini kemudian menjadi rujukan untuk menghitung tarif klaim pasien rawat inap Covid-19. Untuk pasien Covid-19 tanpa komplikasi, biaya perawatan di ruang ICU dengan ventilator Rp 15,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 12 juta per hari.

Berdasarkan ketentuan tarif diatas, setidaknya biaya perawatan pasien Covid-19 itu bisa mencapai Rp 100 juta -- Rp 200 juta/orang. Lalu kalau nantinya ditemukan seribu orang saja pasien rawat inap Covid-19 dari cluster bioskop, coba hitung berapa biaya yang harus dikeluarkan. Apakah biaya pengeluaran itu sebanding dengan pemasukan dari pajak/retribusi tadi? Tentu saja tidak!

Saat ini dunia sedang terdampak pandemi dan kita menjadi jajahan Covid-19. Dalam situasi begini, sudah seharusnya kita tetap sadar dan eling akan posisi kita. Setiap tindakan ceroboh dan gegabah pastinya akan mengundang kekejaman dari sang penjajah.

Ide pembukaan bioskop ini adalah sebuah tindakan tidak profesional, dan menunjukkan betapa rendahnya kapasitas bernalar secara komprehensif dari sipengusung ide itu sendiri.Bahasa halusnya, orang ini sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti apa yang sedang dibicarakannya.

***

Kita memang tidak pernah kekurang ide, termasuk ide yang nyeleneh. Tetapi kita selalu kesulitan untuk mengimplementasikan dan mengawasi agar ide itu bisa berjalan dengan baik dan benar.

Kalau sekiranya bioskop dibuka kembali dengan protokol Kesehatan termasuk pembatasan jarak penonton. Lalu siapa yang incharge untuk memastikan hal tersebut bisa berjalan dengan baik dan benar? Apakah orang tersebut punya kapasitas/kecakapan untuk melakukan hal tersebut?

Coba bayangin sekiranya ada pasangan kekasih nonton berduaan dengan duduk terpisah satu kursi. Pasti rasanya seperti makan rujak tanpa bumbu, ambyar. Lima belas menit berlalu, mereka duduk tetap terpisah, tetapi kini tangan mereka sudah bertaut melewati kursi kosong tadi. Apakah ini termasuk legal? atau haram dalam hukum social distancing?

Setengah jam berlalu, ternyata sang lelaki kemudian merapat ke sebelah. Apakah ia akan ditegur? Lantas siapa yang akan menegur? 

Ini memang soal sepele, itulah sebabnya tidak ada orang yang memikirkannya. Namun jangan sepele, sebab hal-hal begini bisa menjadi entry point terbentuknya cluster baru...

Salam sayang selalu

Reinhard Hutabarat


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun