Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan nyali Refly untuk menerima segala privilege yang menjadi hak seorang Komisaris Utama.
Dalam pandangan pragmatisme warga tentu saja ini adalah hal yang wajar sebagai "balas jasa"atas "keringat" Refly mendukung Jokowi-JK kala itu.
Sejak zaman "kuda gigit besi" pun juga sudah begitu. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Ada yang baik budi tapi ada pula yang culas.
***
Hari berlalu musim berganti. Pilpres 2014 sudah berlalu Pilpres 2019 kini siap menanti.
Setelah tersungkur pada Pilpres 2014 dan Pilgub 2017, Yusril rupanya sudah "bertobat" dan merapat lagi ke lembaga pemerintah yang sudah membesarkan namanya itu sejak era Soeharto, Gus Dur, Megawati hingga SBY.
Rupanya langkah Yusril itu diikuti pula secara berjamaah oleh tokoh-tokoh yang selama ini juga berseberangan dengan pemerintah, seperti Ali Mochtar Ngabalin, Kapitra Ampera dan lain-lainnya.
Sebaliknya Refly yang menerawang kalau perahu Jokowi nantinya akan terlalu sesak, sehingga ia akan sulit bernafas kelak, kemudian memutar haluan menuju pelabuhan berbeda.
Apalagi Jokowi sepertinya tidak akan mau mengakomodir keinginannya demi "orang-orang bertobat tadi." Secara perlahan Ia kemudian menggunting dalam lipatan lewat jargon kritik membangun.
Apakah haram hukumnya mengkritik pemerintah? Tentu saja tidak!
Indonesia adalah negara demokrasi dan orang tentu saja bebas melakukan kritik yang bebas fitnah. Akan tetapi supaya terlihat elegan, tetap diperlukan etika ketika melakukan kritik.